Selasa, 19 Januari 2016

Islam Nusantara dan Konflik

Menurut Perspektif Dosen-Dosen IAT UIN Sunan Kalijaga
Muhammad Yusuf Hasibuan (13530119)




Munculnya istilah Islam Nusantara yang diketahui sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan "Islam Arab" yang  menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam khususnya di Indonesia.
Dalam makalah ini beberapa pendapat menurut perspektif Dosen prodi IAT UIN Sunan Kalijaga.


Pendahuluan
a. Latar Belakang dan Problem Akademik
Beberapa bulan belakangan ini masyarakat digemparkan dengan adanya Islam
Nusantara. Bahkan islam nusantara itu sendiri bukan hanya menjadi topik
pembicaraan di masyarakat indonesia saja akan tetapi di berbagai negara. Islam
nusantara menjadi topik pembahasan baik itu dalam seminar maupun media sosial
yang ada.
Kalau kita perhatikan, selama ini konflik yang dipahami oleh kebanyakan
orang adalah konflik yang ada diluar dari islam nusantara. Yakni, islam nusantara
sebagai sebuah aliran baru. Padahal, Didalam tubuh islam nusantara sendiri kalau kita
kaji, hal itu lebih menarik lagi. yakni, terkait siapa sebenarnya pendiri islam nusantara
dan siapa sajakah yang berada didalam jajaranya? Ada apa sebenarnya dibalik
didirikannya islam nusantara? Dan apakah ada dari internal islam nusantara yang
tidak setuju oleh adanya islam nusantara dan apa alasannya ? untuk itu sangat menarik
meneropong lebih jauh dari perspekti dosen-dosen IAT yang ada di UIN SUNAN
KALI JAGA. Yang nantinya apakah sebenarnya itu bisa di sebut konflik atau tidak.
b. Alasan Memilih Judul Ini
Selama ini konflik yang dipahami oleh kebanyakan orang adalah konflik yang
ada diluar dari islam nusantara. Padahal, Didalam tubuh islam nusantara sendiri itu
juga memiliki konflik yang mana sebenarnya hal itu yang menjadi pokok
permasalahan sentral yang mana bisa mengancam islam nusantara itu sendiri. Dari
sini dirasa penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut apakah benar ini konflik
atau tidak
c. Kaitan atau Alasan Isu/Tema Tersebut Dengan Al-Qur’an
Penelitian ini nantinya terkait dengan ayat Al-Qur’an Surah al-Hujuraat ayat
13, yaitu: "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersukusuku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Subtansi yang terdapat dari ayat diatas adalah terkait dengan diciptakannya
manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Dan mengenai hal inilah menurut Ralf
Dahrendorf titik permasalahan yang akan menimbulkan konflik.
Secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:
a) Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat
yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan
majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti
petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,
wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan
horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur
kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing
penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik
budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini,
jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama,
konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
b) Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang
terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan.
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial kerena ada
sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan
yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara
sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan
rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian
masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik
sosial.1
d. Kontribusi
Adapun kontribusi dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khazanah
keilmuan. Terlebih terhadap kajian keilmuan isu-isu aktual dalam Al-
Qur’an.
2. Diharapkan dapat memperjelas pemahaman atas isu-isu yang berkembang
dimasyarakat yang terkait dengan islam Nusantara dan konflik.
e. Fokus Masalah Yang Akan Dibahas (Rumusan Masalah)
Untuk itu, penting rasanya dilakukan penelitian yang fokus akan fakta
tersebut. Dan kiranya, penelitian ini akan difokuskan pada penelitian lapangan dengan
menentukan ruang lingkup tertentu sebagai subjek penelitiannya. Dan nantinya dalam
hal tersebut akan dirumuskan beberapa persoalan, yakni apakah memang benar
persoalan yang terjadi dalam interen tubuh islam nusantara disebut konflik. Bagai
mana pandangan dosen IAT dalam menyelesaikan persoalan ini.
Kerangka Teori dan Penerapannya
Kaca mata yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
teori konfliknya Ralf Dahrendorf yang mana teori ini dibangun dalam rangka untuk
menentang secara langsung terhadap teori Fungsional Struktural dan akibat berbagai
kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik
sosial dari Simmel.
1 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hal 361.
Dahrendorf adalah tokoh yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai
dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi
dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai
integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan
dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu.
Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan konflik
yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tidak akan punya konflik kecuali
ada konsensus sebelumnya.2
Oritas, Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas.
Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai
kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di
dalam posisi. Dahrendorf tidak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada
konflik antara berbagai struktur posisi itu: “sumber struktur konflik harus dicari di
dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”.
Menurut Dahrendorf tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai
peran otoritas di dalam masyarakat karena memusatkan perhatian kepada struktur
berskala luas seperti peran otoritas itu.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis
Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi.
Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya,
mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada di sekitar mereka, bukan
karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri. Seperti otoritas, harapan ini pun melekat
pada posisi, bukan pada orangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum
mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol,
ditentukan dalam masyarakat. Terakhir karena otoritas adalah absah, sanksi dapat
dijatuhkan pada pihak yang menentang. Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan
karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya. Karena itu seseorang
yang berwenang dalam satu lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas di
dalam lingkungan yang lain. Ini berasal dari argumen.
2 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media,
2004), hal.154.
kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta
anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata
timbulnya konflik dalam masyarakat.3
Lebih lanjut Ralf Dahrendorf membagi kelompok masyarakat menjadi tiga
kelompok diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Kelompok semu (quasi group)
b) Kelompok kepentingan (manifest)
c) Kelompok konflik
Berangkat dari kerangka teori diatas Penulis mencoba untuk mengamati lebih
jauh bahwa struktur dalam islam nusantara itu terdapat perbedaan kepentingan. Yaitu
antara struktur atas dengan struktur bawah. adapun jika dikaitkan dengan teori ini
struk atas itu mencakup kelompok semu dan kelompok kepentingan sedangkan
struktur bawah yaitu kelompok konflik.
Adapun yang membedakan antara struktur atas dan struktur bawah yaitu ada
dan tidak adanya otoritas. Karena struktur atas memiliki otoritas sedangkan struktur
yang bawah tidak memiliki otoritas, hal ini yang menimbulkan kepentingan pada
struktur bawah.
Lebih kongkritnya dalam hal ini diamsumsikan Buya Yahya termasuk dalam
kelompok konflik sedangkan Aqil Siraj termasuk dalam kelompok kepentingan dan
Ulil Abshor masuk dalam kelompok semu. Adapun alasan dari asumsi penulis diatas
memasukkan Buya Yahya dalam kelompok konflik, karena beliau tidak setuju
terhadap pendiri islam nusantara bukan pada lebel penamaannya. Sementara itu alasan
penulis memasukkan Aqil Siraj dalam kelompok kepentingan karena beliau beliau
termasuk struktur atas. Sedangkan Ulil Abshor alasan penulis memasukkannya pada
kelompok semu karena beliau termasuk penggagas islam nusantara tetapi tidak
memiliki power.
Dan akhirnya teori ini penulis rasa sesuai dijadikan sebagai kaca mata dalam
menganalisis persoalan ini.
3 George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2007), hal. 153
Guidline wawancara
Adapun rumusan pertanyaan dalam wawancara adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Islam Nusantara menurut bapak?
2. Apa tujuandidirikannya Islam Nusantara menurut bapak?
3. Menurut bapak apakah realitasnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
tujuan didirikannya islan nusantara?
4. Bagai mana pendapat bapak menilai terkait komentar Buya Yahya tentang
islam nusantara
"Adapun islam Nusantara, penanya menyebut 2 nama, Ulil dan
Azyumardi Azra. Ini adalah tokoh-tokoh yang membuat kerusakan
di atas bumi ini. Adapun dia saat membawa nama ormas Indonesia
(PBNU) ya terjerumus. Kita tidak bicara tentang Islam
Nusantaranya. Terserah namanya apa itu ga penting. Tapi siapa
orang yang didalamnya yang menghidupannya itu lho yang jadi
masalah. islam Nusantara kalau secara istilah ya boleh saja kenapa
tidak ? Kita membuat Islam Cirebon saja, ya ga ada masalah asal
aqidahnya bener, cuman manusianya itu siapa ? Lha kalau manusia
yang disebut tadi (ulil dan azyumardi azra) yang telah mencetuskan
islam yang aneh-aneh islam liberal tadi, ya berarti dia mau pakai
baju yang beda lagi barangkali bisa diterima dengan baju yang baru
ini."
"kalau misalnya pengurus besar ormas indoneisa Nahdatul Ulama
kok setuju ini perlu dikoreksi kenapa nyetujui yang demikian?
wong tokohnya itu liberal. Ini kita ga bicara tentang organisasinya,
tapi siapa manusia yang berjuang di dalamnya ? Kalau ternyata
besok ada perkumpulan Islam Indonesia misalnya yang ingin
mengembalikan kepada Islam Indonesia beberapa tahun yang lalu
yang tidak ada olok olokan dan caci maki, bisa dan itu sah. Siapa
pelakunya? Ternyata mendatangkan ulama-ulama yang jelas,
tokoh-tokoh besar yang diakui. Ya benar.”
"Tapi kalau kita membuat nama nama baru biarpun namanya sama
dengan nama yang selama ini ada, baik. misalnya Islam Walisongo,
namanya kan hebat . Tapi kalau pelakunya orang yang membuat
kerusakan yang disebut tadi (Ulil dan Azyumardi Azra) ya jangan
dong. masalah Istilah saya ga peduli dengan istilah. Tapi isinya
siapa yang berjuang ? kalau orang yang berjuang orang liberal, itu
hanya pakai baju baru untuk lebih tajem dalam menipunya. Kalau
ada ketua sebuah Ormas yang menyetujui (Said Aqil Sirodj), Lha
ini kok bisa nyetujui begitu gimana urusannya? Kalau nyetujui
kebatilan berarti seneng kebatilan dong? jadi kita tidak mengkritisi
tentang nama Islam Nusantara, tapi siapa orang orang yang
berjuang di dalamnya."
5. Bagaimana pendapat anda tentang ayat Al-Qur’an Surah al-Hujuraat
ayat 13, yaitu: "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Jika dikaitkan dengan konflik dan bagai mana menyikapinya ?
6. Apakah fenomena Buya Yahya ini bisa di sebut konflik ?
Transkrip Wawancara I
1. Bapak Indal Abrar
- “Islam Nusantara adalah Islam yang dipahami dan dan yang
berkembang di Nusantara”
- “sebagai sebuah anti-tesis perkembangan Islam Trans-Nasional
yang memanas”
- “tentunya ini perlu yang namanya proses tapi setidaknya sudah
mendekati. yaa walaupun masih terdapat pro dan kontra terkait
islam nusantara itu sendiri”
- “Menurut saya komentar buya yahya terkait orang yang mendirikan
Islam Nusantara itu bukan menjadi sebuah masalah”
- “sabab nuzĂ»l ayat ini mengisyaratkan bahwa ayat ini turun sebagai
larangan memuliakan atau melecehkan manusia berdasarkan
keturunan, kesukuan, maupun kebangsaan. Maka, secara umum
ayat ini tidak ada kaitannya dengan konflik yang sedang di teliti
akan tetapi kalau kita kaitkan setidaknya ayat itu menjelaskan
tentang tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih
mulia daripada yang lain” begitu juga jika dikaitkan dengan
komentar Buya Yahya yang menilai orang dibalik Islam Nusantara
itu yang sebenarnya bermasalah bukan masalah penamaannya.
- Tidak
Transkrip Wawancara II
2. Bapak Yusuf
- “Islam sinkretik yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan
nilai-nilai tradisi lokal (non teologis), budaya, dan adat istiadat di Tanah
Air”
- “Bukan lebih pada ideologi tetapi lebih kepada aktualisasinya pada
indonesia”
- Kalau mengacu pada tujuan islam nusantara sendiri sudah
- Saya Setuju dengan pendapatnya Buya Yahya. jadi kita juga harus
mengkritik baik mulai dari atas sampai kebawahnya lebih tepatnya kita
harus mengritik siapa yang di angkat jadi pemimpinnya apakah sudah
memenuhi keretria seorang pemimpin atau belum.
- Ayat ini secara umum kurang tepat kalau di kaitkan dengan kasus
penelitian penulis.
- Iya apalagi kalau kita lihat beliau dari bagian islam nusantara itu sendiri
Analisa Deskriptif
Dari hasil wawancara sederhana terhadap dua dosen ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir Diatas, di sini ada dua model klasifikasikan mengenai kasusu yang sedang
diteliti. Adalah model yang memahami bahwa kasus diatas sebagai konflik dan yang
memahami sebagai bukan konflik. Adapun pendapat yang pertama mengatakan itu
bukan konflik karena komentarnya Buya Yayah menurutnya itu bukanlah masalah
dan hal itu wajar. Sedangkan yang kedua mengatakan itu bagian dari konflik karena
beliau setuju dengan pendapat Buya Yahya.
Dari klasifikasi inilah kemudian peneliti mencoba menyelam lebih dalam lagi
terkait kasus yang sedang diteliti dengan kaca mata metodologinya Dahrendorf yang
mengatakan kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.
Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta
anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata
timbulnya konflik dalam masyarakat masarakat.
Sampai disini peneliti mengambil kesimpulan bahwasanya setiap struktur itu
pasti ada yang namanya konflik karena pada prinsipnya konflik itu sendiri tidak
terlepas antara satu dengan yang lain hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan konflik
yang menjadi persyaratan satu sama lain.
Yang menjadi kelompok konflik dalam kasus ini iyalah Buya Yahya karena
beliau termasuk dalam bagian dari islam nusantara akan tetapi dia tidak memiliki
otoritas berbeda dengan kelompok kepentingan dan semua.
© Riza Ashman 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis