BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam islam yakni hukum Syara’ menginginkan perkawinan yang kekal
antara suami dan istri, teciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah
sesuai tujuan utama pernikahan itu sendiri, kecuali oleh suatu sebab yang tidak
dapat dipertahankan lagi, yakni karena itu pula syara’ mengikat perkawianan,
tetapi tidak mempermudah perceraian. Syara’ membenarkan dan mengizinkan.
Oleh karena itu masalah hak mengasuh anak pada masa ikatan
perkawianan mendapat perhatian lebih dari syara’ lebih- lebih pasca perceraian
dan termasuk dalam paket hukum keluarga, akan kemana anak itu selanjutnya
ketika terjadi perceraian. Dalam kitab- kitab fikih pemeliharaan anak ini
disebut hadhanah. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai konsep
Hadhanah itu sendiri baik syarat, macam-macam, maupun pengertian serta dasar
hukumnya untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan dalam bab pembahasan.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian hadhanah?
2.
Apa
dasar hukum hadhanah?
3.
Apa
saja syarat-syarat hadhanah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadhanah
Kata Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat
tulang rusuk atau di pangkuan. Karena Ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan
dipangkuannya, seakan-akan ibu itu di saat itu melindungi dan memelihara
anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya
yang dilakukan kerabat anak itu.
Menurut fuqaha, hadhanah adalah aktifitas untuk menjaga anak
laki-laki dan perempuan atau orang idiot yang tidak mumayiz dan tidak mandiri,
serta aktivitas untuk kemaslahatan anak-anak, menjaga dari segala sesuatu yang
menyakiti dan membahayakan, mendidik, jiwa, raga dan akalnya agar dia bisa
bangkit dalam menghadapi realitas kehidupan dan dapat melaksanakan tanggung
jawabnya secara baik.[1]
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, hadhanah
secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz
atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa memenuhi keperluannya
sendiri . Senada dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid menyatakan bahwa
‘hadhanah’ atau ‘mendidik’ berarti menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal
yang anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah
menjelaskan bahwa definisi hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang
masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum
tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawabnya.[2]
Prof. Ahmad Rofiq, M.A. menjelaskan bahwa hadhanah dalam diskursus
ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan
segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak. Pengasuhan anak juga mengandung arti sebuah
tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya
serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya,
tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan
nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur
yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.
B.
Dasar
Hukum Hadhanah
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat
dan mendidik anak adalah kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak yang
masih kecil dan belum mumayyiz tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan berakibat
buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa
mereka. Oleh karena itu anak-anak tersebut wajib dipelihara, diasuh, dirawat
dan dididik dengan baik.
Firman Allah dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 233 dijelaskan bahwa
:
والوالدات يرضعن
أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
لا تكلف نفس إلا وسعها لا تضآر والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلى الوارث مثل ذلك
فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم
فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون
بصير
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
waris pun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan “ (QS. Al Baqarah : 233)
Meskipun ayat tersebut secara tegas menegaskan bahwa tanggung jawab
pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun
pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat di
dalamnya. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi apabila anak tersebut
disusukan oleh perempuan lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayahnya
bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui anaknya tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan tindakan Rasulullah saw. ketika suatu hari
beliau menerima aduan dari Hindun binti Utbah, yaitu: Dari Aisyah ra., Ia
berkata: “Hindun putri Utbah pernah datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan
adalah lelaki yang sangat kikir, berdosakah aku jika aku memberi makan dari
(hasil) suamiku?”, beliau bersabda: “Tidak, jika dalam kebaikan”
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban mengasuh dan
memelihara anak merupakan kewajiban bersama antara suami dan istri. Hal ini
tercantum dalam pasal 77 ayat (3) yang berbunyi :
“Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya,
dan pendidikan agamanya”.
Sejatinya, seorang anak membutuhkan figur kedua orang tua (ayah dan
ibu) dalam perkembangan kematangan kepribadiannya. Oleh karenanya, Nancy
Chodorow salah seorang psikolog yang mengembangkan gagasan tentang teori Pengembangan
Kepribadian menyoroti bahwa mothering (pengasuhan anak yang dilakukan oleh Ibu
semata), telah menghasilkan pengalaman yang berbeda pada anak laki-laki maupun
perempuan. Anak perempuan menjadi memiliki hasrat lebih untuk bisa dekat dan
menyerupai figur ibunya, dan anak lak-laki menjadi bersikap mendominasi yang
kurang bisa menghargai perempuan. Dengan demikian, untuk membebaskan anak
laki-laki dan anak perempuan dari situasi tidak bisa menghargai ataupun menjadi
tidak dihargai ini, ia menyatakan, “any
strategy for change whose goal includes liberation from the constraints of an
unequal social organization of gender must take account of the need for a
fundamental reorganization of parenting, so that primary parenting is shared
between men and women.” (semua strategi
untuk perubahan yang tujuannya termasuk pembebasan dari hambatan dari situasi
pengorganisasian sosial yang tidak adil karena jenis kelamimn harus
memperhatikan kebutuhan akan reorganisasi mendasar atas parenting (pengasuhan
anak), oleh karenanya pengasuhan anak harus dilakukan bersama antara laki-laki
dan perempuan). Meskipun Chodorow sempat meragukan kemampuan laki-laki
dalam hal pengasuhan anak akibat pembakuan pembagian kerja yang terjadi selama
ini, namun dalam perkembangan situasi kontemporer yang kita lihat kini
banyak laki-laki yang memiliki
kapabilitas dalam hal pengasuhan anak bersama-sama dengan perempuan.
Figur laki-laki sebagai tokoh pendidik, dipersonifikasikan secara
baik melalui fiqur Lukman yang kisahnya diabadikan sebagai salah satu nama
Surah dalam Alquran. Lukman juga menekankan pada pentingnya menghormati figur
Ibu sebagai pihak yang memiliki andil besar dalam hal regenerasi.Dinyatakan
dalam Alquran :
ولقد آتينا لقمان الحكمة أن اشكر لله ومن يشكر فإنما
يشكر لنفسه ومن كفر فإن الله غني حميد
وإذ
قال لقمان لابنه وهو يعظه يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله
في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada
Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji" (12) dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar".(13) dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. “(14) (QS. Luqman : 12-14)
Pengasuhan dan pemeliharaan yang termasuk di dalamnya adalah nafkah
untuk anak supaya anak terpenuhi kebutuhan-kebutuhanya ini bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
berlanjut setelah terjadi perceraian.
Adapun dasar hukum yang melandasinya adalah firman Allah swt. dalam
surat al-Baqarah (2) ayat 233 yang artinya :
Artinya: “Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian
untuk anak dan istrinya”.
Dasar hukum hadhanah yang lain, ialah firman Allah SWT:
يا أيها الذين آمنوا
قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله
ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS. At-Tahriim: 6)
Pada ayat ini orang tua
diperintahkan Allah SWT memelihra keluarganya dari api neraka, dengan berusaha
agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan
menghentikan larangan-larangan Allah termassuk dalam anggota keluarga dalam
ayat ini ialah anak.
C.
Syarat-syarat
Hadhanah
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan
hak asuh anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak
asuh anak hilang, syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Syarat
pertama, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang
yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih
membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk
menjadi pengasuh untuk orang lain.
2.
Syarat
kedua, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh,
sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada
dua hal: Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami
si anak. Dan telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah:
“Setiap anak lahir dalam
keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai
Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan
bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir. Hak asuh anak itu
sama dengan perwalian. Allah berfirman :
“dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman.” (QS Ani-Nisaa':141)
3.
Syarat
ketiga, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan
hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak
mengasuh anak.
4.
Syarat
keempat, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan
sabda Nabi: “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi”
(hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495).[3]
5.
Syarat
kelima, tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak
melakukan hadhanah dengan baik, seperti terikat pekerjaan yang berjauhan
tempatnya dengan tempat si anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk
bekerja.
6.
Hendaklah
dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan
dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seperti
pezinah, pencuri tidaklah pantas melakukan hadhanah.
7.
Hendaklah
orang itu tidak membenci si anak. Jika orang itu membenci si anak dikhawatirkan
anak berada dalam kesengsaraan.[4]
Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik,
disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada
bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan
laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada
fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak
dibandingkan wanita.
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada
laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak
mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik
karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena
ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang
menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari
kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah SAW: “Wahai
RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya,
payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya
telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah SAW bersabda
kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah
lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi).
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak
setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang
menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini
disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini.
Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak
ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan
yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak
ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak
mengasuh anak adalah:
1.
Ibu
kandungnya sendiri
2.
Nenek
dari pihak ibu
3.
nenek
dari pihak ayah
4.
saudara
perempuan (kakak perempuan)
5.
bibi
dari pihak ibu
6.
anak
perempuan saudara perempuan
7.
anak
perempuan saudara laki-laki
8.
bibi
dari pihak ayah
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh
dimulai dari:
1.
Ibu
kandung
2.
nenek
dari pihak ibu
3.
bibi
dari pihak ibu
4.
nenek
dari pihak ayah
5.
saudara
perempuan
6.
bibi
dari pihak ayah
7.
anak
perempuan dari saudara laki-laki
8.
penerima
wasiat
9.
dan
kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai
dari:
1.
Ibu
kandung
2.
nenek
dari pihak ibu
3.
nenek
dari pihak ayah
4.
saudara
perempuan
5.
bibi
dari pihak ibu
6.
anak
perempuan dari saudara laki-laki
7.
anak
perempuan dari saudara perempuan
8.
bibi
dari pihak ayah
Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
1.
ibu
kandung
2.
nenek
dari pihak ibu
3.
kakek
dan ibu kakek
4.
bibi
dari kedua orang tua
5.
saudara
perempuan se ibu
6.
saudara
perempuan seayah
7.
bibi
dari ibu kedua orangtua
8.
bibinya
ibu
9.
bibinya
ayah
10.
bibinya
ibu dari jalur ibu
11.
bibinya
ayah dari jalur ibu
12.
bibinya
ayah dari pihak ayah
13.
anak
perempuan dari saudara laki-laki
14.
anak
perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15.
kemudian
kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya, pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir hingga sampai ia sanggup berdiri sendiri
mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anaknya itu. Dalam hadhanah
terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani di samping terkandung
pula pendidikan terhadap anak. Pendidikan mungkin terdiri dari keluarga si anak
dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak, sedangkan hadhanah dilaksanakan
dan dilakukan oleh keluarga si anak kecuali jika anak itu tidak mempunyai
keluarga yang dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain.
Hadhanah juga merupakan hak dari hadhin.
Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan
wajib tidak bisa putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena
perceraian maupun salah satunya meningal dunia, tidaklah menyebabkan putusnya
kewajiban terhadap anaknya.sesuai dengan Q.S. Al- Baqarah ayat : 233.
Artinya:“para ibu hendaklah menyusukan anak- anaknya selama 2
tahun penuh yaitu menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian pada para ibu dengan cara yang makruf.”
Ayat tersebut dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban utuk
memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan dalam pemeliharaan
anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada
seorang ibu yang paling berhak mengasuhnya.
Sedangkan syarat-syarat hadhanah itu yakni: berakal sehat, merdeka,
beragama islam, amanah, belum menikah lagi dengan laki- laki lain bagi ibunya,
bermukim bersama anaknya, dewasa, mampu mendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat Zakiah. Ilmu Fiqh jilid 2. Dana Bhakti
Wakaf: Yogyakarta. 1995.
Sabiq Muhammad Sayyid. Fiqih Sunnah jilid 4. Pena Pundi
Aksara: Jakarta. 2013.
Internet:
Pandangan-islam-tentang-pengasuhan-anak-hadhanah.
http://www.rahima.or.id/index.phpoption-com_content&view-article&id-1214:
suplemen-edisi-45&catid=49:suplemen&Itemid=319.
Syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/https://abiyazid.wordpress.com/2008/03/12.
[1] Muhammad
sayyid sabiq. Fiqih Sunnah jilid 4. Pena Pundi Aksara: jakarta. 2013. Hlm. 21.
[2]Pandangan-islam-tentang-pengasuhan-anak-hadhanah.
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1214:
suplemen-edisi-45&catid=49:suplemen&Itemid=319.
[3] Syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/https://abiyazid.wordpress.com/2008/03/12.
[4] Zakiah
daradjat. Ilmu Fiqh jilid 2. Dana Bhakti Wakaf: Yogyakarta. 1995. Hlm.
161.