Minggu, 09 Agustus 2015

HUKUM PERKAWINAN ISLAM KONSEP HADHANAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam islam yakni hukum Syara’ menginginkan perkawinan yang kekal antara suami dan istri, teciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah sesuai tujuan utama pernikahan itu sendiri, kecuali oleh suatu sebab yang tidak dapat dipertahankan lagi, yakni karena itu pula syara’ mengikat perkawianan, tetapi tidak mempermudah perceraian. Syara’ membenarkan dan mengizinkan.
Oleh karena itu masalah hak mengasuh anak pada masa ikatan perkawianan mendapat perhatian lebih dari syara’ lebih- lebih pasca perceraian dan termasuk dalam paket hukum keluarga, akan kemana anak itu selanjutnya ketika terjadi perceraian. Dalam kitab- kitab fikih pemeliharaan anak ini disebut hadhanah. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai konsep Hadhanah itu sendiri baik syarat, macam-macam, maupun pengertian serta dasar hukumnya untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan dalam bab pembahasan.
1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hadhanah?
2.      Apa dasar hukum hadhanah?
3.      Apa saja syarat-syarat hadhanah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadhanah
Kata Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Karena Ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan dipangkuannya, seakan-akan ibu itu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan kerabat anak itu.
Menurut fuqaha, hadhanah adalah aktifitas untuk menjaga anak laki-laki dan perempuan atau orang idiot yang tidak mumayiz dan tidak mandiri, serta aktivitas untuk kemaslahatan anak-anak, menjaga dari segala sesuatu yang menyakiti dan membahayakan, mendidik, jiwa, raga dan akalnya agar dia bisa bangkit dalam menghadapi realitas kehidupan dan dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara baik.[1]
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, hadhanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri . Senada dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid menyatakan bahwa ‘hadhanah’ atau ‘mendidik’ berarti menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.  Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa definisi hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[2]
Prof. Ahmad Rofiq, M.A. menjelaskan bahwa hadhanah dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.  Pengasuhan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.
B.     Dasar Hukum Hadhanah
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak yang masih kecil dan belum mumayyiz tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh karena itu anak-anak tersebut wajib dipelihara, diasuh, dirawat dan dididik dengan baik.
Firman Allah dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 233 dijelaskan bahwa :
والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لا تكلف نفس إلا وسعها لا تضآر والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلى الوارث مثل ذلك فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian.  Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan “  (QS. Al Baqarah : 233) 
Meskipun ayat tersebut secara tegas menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat di dalamnya. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi apabila anak tersebut disusukan oleh perempuan lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayahnya bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui anaknya tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan tindakan Rasulullah saw. ketika suatu hari beliau menerima aduan dari Hindun binti Utbah, yaitu: Dari Aisyah ra., Ia berkata: “Hindun putri Utbah pernah datang dan berkata :  “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang sangat kikir, berdosakah aku jika aku memberi makan dari (hasil) suamiku?”, beliau bersabda: “Tidak, jika dalam kebaikan” 
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban bersama antara suami dan istri. Hal ini tercantum dalam pasal 77 ayat (3) yang berbunyi :
“Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya”.
Sejatinya, seorang anak membutuhkan figur kedua orang tua (ayah dan ibu) dalam perkembangan kematangan kepribadiannya. Oleh karenanya, Nancy Chodorow salah seorang psikolog yang mengembangkan gagasan tentang teori Pengembangan Kepribadian menyoroti bahwa mothering (pengasuhan anak yang dilakukan oleh Ibu semata), telah menghasilkan pengalaman yang berbeda pada anak laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan menjadi memiliki hasrat lebih untuk bisa dekat dan menyerupai figur ibunya, dan anak lak-laki menjadi bersikap mendominasi yang kurang bisa menghargai perempuan. Dengan demikian, untuk membebaskan anak laki-laki dan anak perempuan dari situasi tidak bisa menghargai ataupun menjadi tidak dihargai ini,  ia menyatakan, “any strategy for change whose goal includes liberation from the constraints of an unequal social organization of gender must take account of the need for a fundamental reorganization of parenting, so that primary parenting is shared between men and women.”  (semua strategi untuk perubahan yang tujuannya termasuk pembebasan dari hambatan dari situasi pengorganisasian sosial yang tidak adil karena jenis kelamimn harus memperhatikan kebutuhan akan reorganisasi mendasar atas parenting (pengasuhan anak), oleh karenanya pengasuhan anak harus dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan).  Meskipun  Chodorow sempat meragukan kemampuan laki-laki dalam hal pengasuhan anak akibat pembakuan pembagian kerja yang terjadi selama ini, namun dalam perkembangan situasi kontemporer yang kita lihat kini banyak  laki-laki yang memiliki kapabilitas dalam hal pengasuhan anak bersama-sama dengan perempuan.
Figur laki-laki sebagai tokoh pendidik, dipersonifikasikan secara baik melalui fiqur Lukman yang kisahnya diabadikan sebagai salah satu nama Surah dalam Alquran. Lukman juga menekankan pada pentingnya menghormati figur Ibu sebagai pihak yang memiliki andil besar dalam hal regenerasi.Dinyatakan dalam Alquran :
ولقد آتينا لقمان الحكمة أن اشكر لله ومن يشكر فإنما يشكر لنفسه ومن كفر فإن الله غني حميد
 وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يا بني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (12) dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(13) dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. “(14)  (QS. Luqman : 12-14)
Pengasuhan dan pemeliharaan yang termasuk di dalamnya adalah nafkah untuk anak supaya anak terpenuhi kebutuhan-kebutuhanya ini bukan hanya berlaku selama ayah dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadi perceraian.
Adapun dasar hukum yang melandasinya adalah firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233 yang artinya :
Artinya: “Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”.
Dasar hukum hadhanah yang lain, ialah firman Allah SWT:
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahriim: 6)
            Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT memelihra keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menghentikan larangan-larangan Allah termassuk dalam anggota keluarga dalam ayat ini ialah anak.
C.     Syarat-syarat Hadhanah
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang, syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Syarat pertama, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
2.      Syarat kedua, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal: Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami si anak. Dan telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah:
    “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir. Hak asuh anak itu sama dengan perwalian. Allah berfirman :
    “dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa':141)
3.      Syarat ketiga, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
4.      Syarat keempat, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda Nabi: “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495).[3]
5.      Syarat kelima, tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik, seperti terikat pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan tempat si anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.
6.      Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak terutama yang berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seperti pezinah, pencuri tidaklah pantas melakukan hadhanah.
7.      Hendaklah orang itu tidak membenci si anak. Jika orang itu membenci si anak dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan.[4]
Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah SAW: “Wahai RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah SAW bersabda kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi).
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1.      Ibu kandungnya sendiri
2.      Nenek dari pihak ibu
3.      nenek dari pihak ayah
4.      saudara perempuan (kakak perempuan)
5.      bibi dari pihak ibu
6.      anak perempuan saudara perempuan
7.      anak perempuan saudara laki-laki
8.      bibi dari pihak ayah


Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1.      Ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      bibi dari pihak ibu
4.      nenek dari pihak ayah
5.      saudara perempuan
6.      bibi dari pihak ayah
7.      anak perempuan dari saudara laki-laki
8.      penerima wasiat
9.      dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1.            Ibu kandung
2.            nenek dari pihak ibu
3.            nenek dari pihak ayah
4.            saudara perempuan
5.            bibi dari pihak ibu
6.            anak perempuan dari saudara laki-laki
7.            anak perempuan dari saudara perempuan
8.            bibi dari pihak ayah

Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
1.            ibu kandung
2.            nenek dari pihak ibu
3.            kakek dan ibu kakek
4.            bibi dari kedua orang tua
5.            saudara perempuan se ibu
6.            saudara perempuan seayah
7.            bibi dari ibu kedua orangtua
8.            bibinya ibu
9.            bibinya ayah
10.        bibinya ibu dari jalur ibu
11.        bibinya ayah dari jalur ibu
12.        bibinya ayah dari pihak ayah
13.        anak perempuan dari saudara laki-laki
14.        anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15.        kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya, pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir hingga sampai ia sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anaknya itu. Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani di samping terkandung pula pendidikan terhadap anak. Pendidikan mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak, sedangkan hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak kecuali jika anak itu tidak mempunyai keluarga yang dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah juga merupakan hak dari hadhin.
Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan wajib tidak bisa putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena perceraian maupun salah satunya meningal dunia, tidaklah menyebabkan putusnya kewajiban terhadap anaknya.sesuai dengan Q.S. Al- Baqarah ayat : 233.
Artinya:“para ibu hendaklah menyusukan anak- anaknya selama 2 tahun penuh yaitu menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada para ibu dengan cara yang makruf.”
Ayat tersebut dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban utuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak mengasuhnya.
Sedangkan syarat-syarat hadhanah itu yakni: berakal sehat, merdeka, beragama islam, amanah, belum menikah lagi dengan laki- laki lain bagi ibunya, bermukim bersama anaknya, dewasa, mampu mendidik.



DAFTAR PUSTAKA

Daradjat Zakiah. Ilmu Fiqh jilid 2. Dana Bhakti Wakaf: Yogyakarta. 1995.
Sabiq Muhammad Sayyid. Fiqih Sunnah jilid 4. Pena Pundi Aksara: Jakarta. 2013.
Internet:
Pandangan-islam-tentang-pengasuhan-anak-hadhanah. http://www.rahima.or.id/index.phpoption-com_content&view-article&id-1214: suplemen-edisi-45&catid=49:suplemen&Itemid=319.
Syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/https://abiyazid.wordpress.com/2008/03/12.



[1] Muhammad sayyid sabiq. Fiqih Sunnah jilid 4. Pena Pundi Aksara: jakarta. 2013. Hlm. 21.
[2]Pandangan-islam-tentang-pengasuhan-anak-hadhanah. http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1214: suplemen-edisi-45&catid=49:suplemen&Itemid=319.
[3] Syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/https://abiyazid.wordpress.com/2008/03/12.
[4] Zakiah daradjat. Ilmu Fiqh jilid 2. Dana Bhakti Wakaf: Yogyakarta. 1995. Hlm. 161.
© Riza Ashman 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis