Resensi
Buku
“Hidup
Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah”
Judul Buku : Hidup Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam
Madinah
Penulis : Dr. Aksin Wijaya, S.H., M.Ag.
Penerbit : STAIN Press Ponorogo
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Mei 2009
Tebal Buku : 96 Halaman
Editor : Layyin Mahfiyana
Hidup Beragama
Pendahuluan
Salah
satu rujukan sebagai umat Islam ini adalah Piagam Madinah. Padahal, Piagam
Madinah yang dibuat Muhammad, yang juga sering dijadikan model bernegara oleh
sebagian umat Islam di negara-negara lain, justru berisi butr-butir yang tidak
mencerminkan semangat islami, dalam arti formal, kendati Muhammad sendiri
adalah seorang nabi. Muatan yang ada di dalam Piagam Madinah tidak lebih dari
sikap politik Muhammad sebagai pemimpin politik yang harus memberikan kebebasan
kepada tiap individu dan suku untuk menjalankan, bukan saja tradisi individu
dan sukunya, tapi juga agamanya masing-masing. Bahkan, paganisme pun diizinkan
hidup di sana.
Di
antara peneliti yang melakukan komparasi UU 1945 dan Piagam Madinah adalah
Ahmad Sukarja. Di dalam bukunya, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk,
Sukarja menyatakan bahwa kebebasan beragama yang disinyalir dalam kedua sumber
kenegaraan tersebut, bukan karena kemurahan
dan bukan pula pemberian negara. Sebab kebebasan beragama merupakan
salah satu hak asasi manusia yang bersumber dari Tuhan. Prinsip menyebabkan
negara tidak berhak memberika batasan
apalagi larangan kebebasan beragama bagi setiap manusia.
Sinopsis
Kehidupan
keagamaan di indonesia akhir-akhir ini ditandai dengan semakin kuatnya kendali
otoritas lembaga dan organisasi keagamaan atas agama. Kondisi ini membuat agama
tidak lagi menjadi kenyataan independen
yang berperan sebagai pemberi nilai-nilai moral terhadap kehidupan masyarakat.
Sebaliknya, yang selalu terlihat adalah bahwa agama hanya menjadi alat
legitimasi politik bagi kekuasaan tertentu.
Kenyataan
ini tidak saja menjadikan masyarakat sebagai menjadi korban kekuasaan politik
pemerintah, agama juga menjadi tumbal. Dalam situasi seperti ini, penting
kiranya menampilkan kembali relasi agama dan negara, agar bisa dijadikan
pelajaran berharga bagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan agama sebagai alat
legitimasi kekuasaan.
Inilah
yang menjadi tema buku yang kami resensi kali ini. Penulis melakukan
perbandingan antara Piagam Madinah dan UUD 1945. Dengan itu penulis mencoba
melihat persoalan kebebasan beragama dalam bingkai konstitusi Negara Madinah
dan butir-butir pasal dalam undang-undang yang mendasari kehidupan berbangsa
dan bernegara di Republik Indonesia ini.
·
Konsep
Kebebasan Beragama
A.
Pengertian Kebebasan Beragama
Kata
“kebebasan” berasal dari kata “bebas”. Kata ini mengandung banyak arti, tapi
dalam penjelasan ini kami mengambil dua arti saja. Pertama, “lepas sama
sekali”, artinya tidak terhalang, tidak terganggu sehingga dapat berbicara,
bergerak, dan sebagainya. Kedua, “lepas dari”, seperti lepas dari kewajiban
atau dari tanggung jawab.
Sementara
itu kata ”beragama” berasal dari kata “agama”. Beberapa analisis filsafat agama
ataupun perbandingan agama menganggap kata ini berasal dari bahasa sansekerta.
Kata “agama” mengandung arti kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dan sebagainya),
dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa yang di masud kebebasan beragama adalah
tidak adanya pihak-pihak tertentu yang berhak menghalangi, memaksa, baik secara
kultural maupun struktural. Jadi, kebebasan beragama berarti seseorang baik
secara individual maupun kolektif bebas memeluk dan melaksanakan ibadah menurut
agama dan kepercayaan mereka.
B.
Hakikat Kebebasan Beragama
Kajian
mengenai kebebasan beragama dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu
perspektif hak asasi manusia, agama dan UUD 1945, serta piagam Madinah.
1.
Agama
Sebagai Hak Asasi Manusia.
Bagi
manusia, posisi agama sama dengan makanan, sama-sama sebagai bagian dari
kehidupan, sebab manusia bersifat bidimensional. Manusia diciptakan dalam tanah
namun, agar berbeda dengan makhluk lain dan demi eksitensi hidupnya, ia juga
ditiupi ruh Tuhan. Ruh Tuhan merupakan simbol kebertuhanan manusia. Ini artinya
manusia pasti juga beragama, sebab keduanya identik. Dalam islam, hal ini bisa
kita lacak pada sumber asasinya, yaitu Al-qur’an dan Hadis.
Tentang
asal-usul hak asasi manusia, para tokoh bersilang pendapat. Ada yang mengatakan
bahwa Islam-lah yang mempelopori adanya hak asasi manusia.
Bentuk-bentuk hak asasi manusia
dapat diklasifikasi sebagai berikut:
A.
Bebas
dari keharusan beragama di luar dirinya.
B.
Bebas
dari paksaan beragama.
C.
Bebas
untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama.
D.
Bebas
untuk memilih dan melepas suatu agama.
E.
Bebas
untuk pindah agama.
F.
Bebas
untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
2.
Agama
dan Keberagamaan
Agama
yang dimaksud dalam buku ini adalah agama dalam pengertian umum, meliputi
seluruh agama, baik agama samawi, agama ardli, kristen maupun
islam, dan lain-lain. Purwodarminto, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan
agama sebagai “sebuah kepercayaan yang disertai dengan kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalianndengan kepercayaan itu”. Erich Fromm melihat
agama sebagai sebuah sikap penyerahan diri manusia pada kekuatan yang lebih
tinggi yang tidak tampak dan dijadikan kontrol pada nasibnya, dan diangkat
untuk ditaati, dihormati, dan disembah.
C.
Realitas Keberagamaan Dewasa Ini
Ada
analisis menarik dari Sammuel Huntington yang mengatakan bahwa di masa-masa
mendatang konflik dunia tidak lagi disebabkan oleh hal-hal yang berbau
praksisidual, seperti plitik, ekonomi, dan ideologi, namun oleh masalah-masalah
SARA (suku, agama, ras, dan golongan). Alasan-alasan yang mendasari tesis
Huntington ada beberapa hal: pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya
riil, tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang semakin sempit, interaksi
orang yang berbeda peradaban semakin meningkat.
Jika
asumsi ini benar, dengan tidak mengenyampingkan kontroversi yang muncul, maka
umat beragama diharapkan siap menata diri sejak dini. Lebih-lebih masyarakat
kita sekarang yang tengah mengalami perubahan dengan cepat, baik secara
sruktural, kultural, maupun infrastruktural, dalam situasi demikian, agama
sangat dibutuhkan kehadirannya di masyarakat untuk mengisi kebutuhan rohani dan
memperkuat identitas diri.
·
Beragama
dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah
A.
beragama dalam Perspektif UUD 1945
·
Pembukaan
UUD 1945
Alenia Pertama:
“Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dangan
perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Adanya
kata “penghapusan” dalam kalimat ini menunjukkan bahwa pada saat itu Indonesia
berada dalam kekuasaan penjajahan, sekalipun konteksnya menggunakan kata
“dunia”. Dalam kenyataannya Indonesia paada saat itu berada di tangan penjajah
Belanda dan Jepang. Pada masa itu, bangsa Indonesia mengalami dan merasakan
adanya perilaku yang tidak manusiawidan tidak adil. Karena itu bangsa Indonesia
berjuang memperoleh kemerdekaan dengan menghapus penjajah.
Alenia Kedua:
“Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur”.
Adanya
kata”dan” yang mengawali alenia ini menunjukkan adanya hubungan kausal dengan
alenia sebelumnya. Persisnya pada “ perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia”, dengan alenia pertama pada pernyataan “penghapusan penjajahan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilaan”.
Alenia Ketiga:
“Atas
berkat Rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan
luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kalimat
“berkat Rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa” dalam alenia ini membuka ruang bagi
multi interpretasi dari berbagai penganut agama di Indonesia.
Alenia Keempat:
“Kemudian
dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umu, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusuanlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam
suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Dalam
alenia ini disebutkan dasar-dasar Negara Republik Indonesia sesuai amanat
Proklamasi, yaitu pancasila yang terdiri dari lima sila. Memang, secara
formal-administratif Indonesia bukan negara islam juga bukan negara sekuler,
tetapi kedua-duanya terakomodasi dalam negara. Sementara itu, pancasila menjadi
jiwa negara sekaligus bangsa indonesia. Oleh karena itu pancasila bersifat
plural, sebab Indonesia memang plular dan heterogen.
·
Batang
Tubuh UUD 1945
Dari
perumusan Pembukaan UUD 1945 dapat dilihat betapa rentannya persoalan agama
dalam ketatanegaraan Indonesia. Bahwa agama bukan peredam konflik dan pemersatu
bangsa. Sebaliknya ia jusrtu menjadi pemicu konflik, sekalipun pada hakikatnya
masing-masing agama mengajarkan kedamaian. Pertanyaannya sekarang adalah
bagaimana posisi agama dalam di negara pancasila ini atau bagaimana negara
pancasila memperlakukan agama? Pada alenia ketiga dan keempat Pembukaan UUD
1945, secara eksplisit disinggung mengenai posisi agama dan ketata negaraan
Indonesia, yaitu bahwa negara Indonesia adalah negara republik yang berdasar
pada ketuhanan Yang Maha Esa. Sebenarnya pencantuman kalimat “Ketuhanan Yang
Maha Esa” ini secara langsung dipahami oleh alenia ketiga, bahwa keberhasilan
proses perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah. Relevansi
Pembukaan UUD 1945, khususnya alenia keempat sila satu ini dengan Batang Tubuh,
terletak pada Bab XI tentang agama pasal 29 ayat (1), yang berbunyi, “Negara berdasar
atas ketuhanan Yang Maha Esa”.
B.
Beragama dalam Perspektif Piagam Madinah
Sebagaimana
analisis terhadap UUD 1945 mengenai kebebasan beragama yang selain menggunakan
analisis teks normatif juga melibatkan deskripsi situasional dan historis,
demikian juga dalam menganalisis
konsepsi Piagam Madinah.
Dalam
Piagam Madinah, ummah menjadi prinsip kunci untuk memahami komunikasi
warga Madinah. Konsep inilah yang menjadi perekat utama dalam komunikasi negara
Madinah. Sebab ummah merupakan identitas bersama yang menjadi pijakan
kerja sama antara berbagai kelompok sosial dalam konfigurasi pluralistik
Madinah. Dengan terminologi ummah ialah suatu istilah yang digunakan
Rasulullah saw, untuk masyarakat madinah diikat untuk menekankan kerja sama
demi meraih dan menjaga keamanan dan kesejahteraan bersama. Oleh karenanya,
pemahaman terhadap konsep ummah menjadi penting untuk mengetahu posisi
agama dalam Piagam Madinah dan melihat apakah kebebasan beragama benar-benar
dijamin oleh negara yang dibangun pertama kalinya oleh umat Islam ini.
Bisa
disebut Piagam Madinah sebagai kontrol sosial komunitas masyarakat yang telah
menepatkan “rasa kebangsaan” sebagai perekat persatuan. Sementara itu, aspek
pluralitas masyarakat seperti pluralisme agama, suku dan tradisi diletakkan
secara egaliter.
·
Arah
Baru Kehidupan Beragama di Indonesia
A. UUD 1945 dan
Piagam Madinah, Sekuler-Religius.
Indonesia dan Madinah terdapat kesamaan yaitu bukan merupakan
negara agama. Keduanya, indonesia dan madinah ini bercorak sekuler tetapi nilai
nilai berbangsa dan bernegaranya tidak lepas dari corak religius. Indonesia dan
Madinah memberikan jaminan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing masing, negara
tidak mengarahkan setiap warganya untuk memeluk memilih agama karena manusia
mempunyai hak mameluk agamanya masing masing.
Untuk masalah
ketuhanan antara UUD 1945 dan Piagam Madinah terjadi perbedaan jika dalam UUD
1945 ketuhanan sebagai landasan pijak sedangkan di dalam Piagam Madinah ketuhanan
di jadikan rujukan akhir.
Terkait masalah
polietis Didalam UUD 1945 dengan tegas di tolak tetapi didalam Piagam Madinah
masalah Polietis ini diperkenankan untuk hidup.
B.
Sintesis Dikursif Menuju
Kehidupan Beragama yang Kondusif dan Konstruktif di Indonesia
Sintesis
diskursif yang di maksud adalah perpaduan antara hasil analisis teks normatif
UUD 1945 sebagai teks tesa dengan Piagam Madinah sebagai atitesa dalam melihat
kehidupan beragama. Menggabungkan titik persamaan dan titik perbedaan kedua konstitusi kemudian mencari sintesa
diskursif baru yang kondusif untuk realitas keindonesiaan masa kini adalah
jalan yang cukup fair dan akomodatif.
Analisis
perbandingan antara UUD 1945 dengan Piagam Madinah tentang aspek hukum
kebebasan beragama, sebenarnya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sesuai
dengan kerangka metodelogi yang digunakan. Tetapi penulis memilih analisis
teks. Sebab sejauh pengamatan penulis, kerangka analisis teks belum pernah
digunakan para penulis Indonesia untuk mencoba dan melihat konsepsi kedua
konstitusi tesebut secara normatif, khususnya aspek hukum kebebasan beragama.
Kritik
dan Saran
Dalam
buku ini kesan yang nampak adalah perbandingan antara UUD 1945 sekarang dan
Piagam Madinah semasa Nabi Muhammad, yang membandingkan kehidupan beragama yang
baik, bertoleransi penganut agama lain. Buku ini sangat cocok di baca para
calon-calon pemimpin ataupun peminpin negara untuk bisa mengatur negara
tersebut lebih baik lagi dengan pedoman perpaduan antara UUD 1945 dan Piagam
Madinah.
Namun
di dalam buku ini terdapat banyak kata-kata yang tidak mudah dimengerti
terutama pada kaum Awam, sebaiknya untuk kata-kata yang berbaur politik penulis
membuat footnote khusus, kata-kata seperti: Multi Interpretasi (hal. 30),
Plural dan heterogen (hal. 32), Sintesis Dikursif (hal. 51), Egaliter (hal.44)
. Juga di dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang membingungkan seperti:
penulisan judul sub Sintesis Dikursif. Namun, di penjelasannya di tulis Sintesa
diskursif. Untuk tulisan judul di cover sampingnya bertulisan Hidup Beragam.
Namun, di cover depan bertuliskan Hidup Beragama, ini sangat membingungkan bagi
pembaca, mana judul yang benar atau bukan judul.
Untuk
saran terakhir, kami sebagai pembaca menyarankan untuk lampiran Piagam Madinah
di tuliskan harakatnya, karna tidak semua orang bisa membaca arab gundul.
Biografi
Penulis
Dr.
Aksin Wijaya, S.H., M. Ag. adalah dosen Usuluddin STAIN ponorogo. Aktif
menulis, menerjemah, dan mengisi
berbagai seminar, pelatihan, dan bedah buku di beberapa lembaga
pendidikan dan organisasi sosial dan keagamaan. Tesisnya dinobatkan sebagai
pemenang juara II (dua) Thesis Award (lomba tesis tingkat Nasional di
kalangan dosen PTAI) se-Indonesia yang diadakan
Depertemen Agama RI, 2006. Doktor muda kelahiran sumenep, 1 Juli 1974
madura ini juga pernah terpilih sebagai salah satu peserta program Sandwich
penelitian Disertasi Tafsir di Mesir yang diadakan Departemen Agama,
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan PSQ Jakarta, pada Maret-Juli 2007. Di
antara karyanya yang telah diterbitkan adalah Menggugat Otentisitas Wahyu
Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Safiria Insania Press, 2004), Arah Baru
Studi Ulumul Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Pustaka
Pelajar, 2009) Kritik atas Kritik Interpretasi Al-Qur’an: Telah Kritis atas
Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rushd (LkiS, 2009).