Sabtu, 06 Desember 2014

Resensi Buku Hidup Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah




Resensi Buku


“Hidup Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah”



Judul Buku                  : Hidup Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah
Penulis                         : Dr. Aksin Wijaya, S.H., M.Ag.
Penerbit                       : STAIN Press Ponorogo
Tahun Terbit                : Cetakan Pertama, Mei 2009
Tebal Buku                  : 96 Halaman
Editor                          : Layyin Mahfiyana
Hidup Beragama
Pendahuluan
            Salah satu rujukan sebagai umat Islam ini adalah Piagam Madinah. Padahal, Piagam Madinah yang dibuat Muhammad, yang juga sering dijadikan model bernegara oleh sebagian umat Islam di negara-negara lain, justru berisi butr-butir yang tidak mencerminkan semangat islami, dalam arti formal, kendati Muhammad sendiri adalah seorang nabi. Muatan yang ada di dalam Piagam Madinah tidak lebih dari sikap politik Muhammad sebagai pemimpin politik yang harus memberikan kebebasan kepada tiap individu dan suku untuk menjalankan, bukan saja tradisi individu dan sukunya, tapi juga agamanya masing-masing. Bahkan, paganisme pun diizinkan hidup di sana.
            Di antara peneliti yang melakukan komparasi UU 1945 dan Piagam Madinah adalah Ahmad Sukarja. Di dalam bukunya, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Sukarja menyatakan bahwa kebebasan beragama yang disinyalir dalam kedua sumber kenegaraan tersebut, bukan karena kemurahan  dan bukan pula pemberian negara. Sebab kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersumber dari Tuhan. Prinsip menyebabkan negara tidak berhak  memberika batasan apalagi larangan kebebasan beragama bagi setiap manusia.
Sinopsis
Kehidupan keagamaan di indonesia akhir-akhir ini ditandai dengan semakin kuatnya kendali otoritas lembaga dan organisasi keagamaan atas agama. Kondisi ini membuat agama tidak lagi  menjadi kenyataan independen yang berperan sebagai pemberi nilai-nilai moral terhadap kehidupan masyarakat. Sebaliknya, yang selalu terlihat adalah bahwa agama hanya menjadi alat legitimasi politik bagi kekuasaan tertentu.
Kenyataan ini tidak saja menjadikan masyarakat sebagai menjadi korban kekuasaan politik pemerintah, agama juga menjadi tumbal. Dalam situasi seperti ini, penting kiranya menampilkan kembali relasi agama dan negara, agar bisa dijadikan pelajaran berharga bagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Inilah yang menjadi tema buku yang kami resensi kali ini. Penulis melakukan perbandingan antara Piagam Madinah dan UUD 1945. Dengan itu penulis mencoba melihat persoalan kebebasan beragama dalam bingkai konstitusi Negara Madinah dan butir-butir pasal dalam undang-undang yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini.
·        Konsep Kebebasan Beragama
A.    Pengertian Kebebasan Beragama
Kata “kebebasan” berasal dari kata “bebas”. Kata ini mengandung banyak arti, tapi dalam penjelasan ini kami mengambil dua arti saja. Pertama, “lepas sama sekali”, artinya tidak terhalang, tidak terganggu sehingga dapat berbicara, bergerak, dan sebagainya. Kedua, “lepas dari”, seperti lepas dari kewajiban atau dari tanggung jawab.
Sementara itu kata ”beragama” berasal dari kata “agama”. Beberapa analisis filsafat agama ataupun perbandingan agama menganggap kata ini berasal dari bahasa sansekerta. Kata “agama” mengandung arti kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dan sebagainya), dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang di masud kebebasan beragama adalah tidak adanya pihak-pihak tertentu yang berhak menghalangi, memaksa, baik secara kultural maupun struktural. Jadi, kebebasan beragama berarti seseorang baik secara individual maupun kolektif bebas memeluk dan melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan mereka.
B.     Hakikat Kebebasan Beragama
Kajian mengenai kebebasan beragama dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu perspektif hak asasi manusia, agama dan UUD 1945, serta piagam Madinah.
1.      Agama Sebagai Hak Asasi Manusia.
Bagi manusia, posisi agama sama dengan makanan, sama-sama sebagai bagian dari kehidupan, sebab manusia bersifat bidimensional. Manusia diciptakan dalam tanah namun, agar berbeda dengan makhluk lain dan demi eksitensi hidupnya, ia juga ditiupi ruh Tuhan. Ruh Tuhan merupakan simbol kebertuhanan manusia. Ini artinya manusia pasti juga beragama, sebab keduanya identik. Dalam islam, hal ini bisa kita lacak pada sumber asasinya, yaitu Al-qur’an dan Hadis.
            Tentang asal-usul hak asasi manusia, para tokoh bersilang pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Islam-lah yang mempelopori adanya hak asasi manusia.
Bentuk-bentuk hak asasi manusia dapat diklasifikasi sebagai berikut:
A.    Bebas dari keharusan beragama di luar dirinya.
B.     Bebas dari paksaan beragama.
C.     Bebas untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama.
D.    Bebas untuk memilih dan melepas suatu agama.
E.     Bebas untuk pindah agama.
F.      Bebas untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
2.      Agama dan Keberagamaan
Agama yang dimaksud dalam buku ini adalah agama dalam pengertian umum, meliputi seluruh agama, baik agama samawi, agama ardli, kristen maupun islam, dan lain-lain. Purwodarminto, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan agama sebagai “sebuah kepercayaan yang disertai dengan kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalianndengan kepercayaan itu”. Erich Fromm melihat agama sebagai sebuah sikap penyerahan diri manusia pada kekuatan yang lebih tinggi yang tidak tampak dan dijadikan kontrol pada nasibnya, dan diangkat untuk ditaati, dihormati, dan disembah.
C.    Realitas Keberagamaan Dewasa Ini
Ada analisis menarik dari Sammuel Huntington yang mengatakan bahwa di masa-masa mendatang konflik dunia tidak lagi disebabkan oleh hal-hal yang berbau praksisidual, seperti plitik, ekonomi, dan ideologi, namun oleh masalah-masalah SARA (suku, agama, ras, dan golongan). Alasan-alasan yang mendasari tesis Huntington ada beberapa hal: pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang semakin sempit, interaksi orang yang berbeda peradaban semakin meningkat.
            Jika asumsi ini benar, dengan tidak mengenyampingkan kontroversi yang muncul, maka umat beragama diharapkan siap menata diri sejak dini. Lebih-lebih masyarakat kita sekarang yang tengah mengalami perubahan dengan cepat, baik secara sruktural, kultural, maupun infrastruktural, dalam situasi demikian, agama sangat dibutuhkan kehadirannya di masyarakat untuk mengisi kebutuhan rohani dan memperkuat identitas diri.
·         Beragama dalam Sorotan UUD 1945 dan Piagam Madinah
A.    beragama dalam Perspektif UUD 1945
·         Pembukaan UUD 1945
Alenia Pertama:
            “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dangan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
            Adanya kata “penghapusan” dalam kalimat ini menunjukkan bahwa pada saat itu Indonesia berada dalam kekuasaan penjajahan, sekalipun konteksnya menggunakan kata “dunia”. Dalam kenyataannya Indonesia paada saat itu berada di tangan penjajah Belanda dan Jepang. Pada masa itu, bangsa Indonesia mengalami dan merasakan adanya perilaku yang tidak manusiawidan tidak adil. Karena itu bangsa Indonesia berjuang memperoleh kemerdekaan dengan menghapus penjajah.

Alenia Kedua:
            Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
            Adanya kata”dan” yang mengawali alenia ini menunjukkan adanya hubungan kausal dengan alenia sebelumnya. Persisnya pada “ perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia”, dengan alenia pertama pada pernyataan “penghapusan penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilaan”.
Alenia Ketiga:
            Atas berkat Rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
            Kalimat “berkat Rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa” dalam alenia ini membuka ruang bagi multi interpretasi dari berbagai penganut agama di Indonesia.

Alenia Keempat:
            Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umu, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusuanlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
            Dalam alenia ini disebutkan dasar-dasar Negara Republik Indonesia sesuai amanat Proklamasi, yaitu pancasila yang terdiri dari lima sila. Memang, secara formal-administratif Indonesia bukan negara islam juga bukan negara sekuler, tetapi kedua-duanya terakomodasi dalam negara. Sementara itu, pancasila menjadi jiwa negara sekaligus bangsa indonesia. Oleh karena itu pancasila bersifat plural, sebab Indonesia memang plular dan heterogen.
·         Batang Tubuh UUD 1945
Dari perumusan Pembukaan UUD 1945 dapat dilihat betapa rentannya persoalan agama dalam ketatanegaraan Indonesia. Bahwa agama bukan peredam konflik dan pemersatu bangsa. Sebaliknya ia jusrtu menjadi pemicu konflik, sekalipun pada hakikatnya masing-masing agama mengajarkan kedamaian. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana posisi agama dalam di negara pancasila ini atau bagaimana negara pancasila memperlakukan agama? Pada alenia ketiga dan keempat Pembukaan UUD 1945, secara eksplisit disinggung mengenai posisi agama dan ketata negaraan Indonesia, yaitu bahwa negara Indonesia adalah negara republik yang berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa. Sebenarnya pencantuman kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini secara langsung dipahami oleh alenia ketiga, bahwa keberhasilan proses perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah berkat Rahmat Allah. Relevansi Pembukaan UUD 1945, khususnya alenia keempat sila satu ini dengan Batang Tubuh, terletak pada Bab XI tentang agama pasal 29 ayat (1), yang berbunyi, “Negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa”.
B.     Beragama dalam Perspektif Piagam Madinah
Sebagaimana analisis terhadap UUD 1945 mengenai kebebasan beragama yang selain menggunakan analisis teks normatif juga melibatkan deskripsi situasional dan historis, demikian juga dalam menganalisis  konsepsi Piagam Madinah.
Dalam Piagam Madinah, ummah menjadi prinsip kunci untuk memahami komunikasi warga Madinah. Konsep inilah yang menjadi perekat utama dalam komunikasi negara Madinah. Sebab ummah merupakan identitas bersama yang menjadi pijakan kerja sama antara berbagai kelompok sosial dalam konfigurasi pluralistik Madinah. Dengan terminologi ummah ialah suatu istilah yang digunakan Rasulullah saw, untuk masyarakat madinah diikat untuk menekankan kerja sama demi meraih dan menjaga keamanan dan kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, pemahaman terhadap konsep ummah menjadi penting untuk mengetahu posisi agama dalam Piagam Madinah dan melihat apakah kebebasan beragama benar-benar dijamin oleh negara yang dibangun pertama kalinya oleh umat Islam ini. 
Bisa disebut Piagam Madinah sebagai kontrol sosial komunitas masyarakat yang telah menepatkan “rasa kebangsaan” sebagai perekat persatuan. Sementara itu, aspek pluralitas masyarakat seperti pluralisme agama, suku dan tradisi diletakkan secara egaliter.
·        Arah Baru Kehidupan Beragama di Indonesia
A.     UUD 1945 dan Piagam Madinah, Sekuler-Religius.

Indonesia dan Madinah terdapat kesamaan yaitu bukan merupakan negara agama. Keduanya, indonesia dan madinah ini bercorak sekuler tetapi nilai nilai berbangsa dan bernegaranya tidak lepas dari corak religius. Indonesia dan Madinah memberikan jaminan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah  sesuai dengan agamanya masing masing, negara tidak mengarahkan setiap warganya untuk memeluk memilih agama karena manusia mempunyai hak mameluk agamanya masing masing.
            Untuk masalah ketuhanan antara UUD 1945 dan Piagam Madinah terjadi perbedaan jika dalam UUD 1945 ketuhanan sebagai landasan pijak sedangkan di dalam Piagam Madinah ketuhanan di jadikan rujukan akhir.
            Terkait masalah polietis Didalam UUD 1945 dengan tegas di tolak tetapi didalam Piagam Madinah masalah Polietis ini diperkenankan untuk hidup.

B.     Sintesis  Dikursif Menuju Kehidupan Beragama yang Kondusif dan Konstruktif di Indonesia
Sintesis diskursif yang di maksud adalah perpaduan antara hasil analisis teks normatif UUD 1945 sebagai teks tesa dengan Piagam Madinah sebagai atitesa dalam melihat kehidupan beragama. Menggabungkan titik persamaan dan titik perbedaan  kedua konstitusi kemudian mencari sintesa diskursif baru yang kondusif untuk realitas keindonesiaan masa kini adalah jalan yang cukup fair dan akomodatif.
Analisis perbandingan antara UUD 1945 dengan Piagam Madinah tentang aspek hukum kebebasan beragama, sebenarnya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sesuai dengan kerangka metodelogi yang digunakan. Tetapi penulis memilih analisis teks. Sebab sejauh pengamatan penulis, kerangka analisis teks belum pernah digunakan para penulis Indonesia untuk mencoba dan melihat konsepsi kedua konstitusi tesebut secara normatif, khususnya aspek hukum kebebasan beragama.
            Kritik dan Saran
Dalam buku ini kesan yang nampak adalah perbandingan antara UUD 1945 sekarang dan Piagam Madinah semasa Nabi Muhammad, yang membandingkan kehidupan beragama yang baik, bertoleransi penganut agama lain. Buku ini sangat cocok di baca para calon-calon pemimpin ataupun peminpin negara untuk bisa mengatur negara tersebut lebih baik lagi dengan pedoman perpaduan antara UUD 1945 dan Piagam Madinah.
Namun di dalam buku ini terdapat banyak kata-kata yang tidak mudah dimengerti terutama pada kaum Awam, sebaiknya untuk kata-kata yang berbaur politik penulis membuat footnote khusus, kata-kata seperti: Multi Interpretasi (hal. 30), Plural dan heterogen (hal. 32), Sintesis Dikursif (hal. 51), Egaliter (hal.44) . Juga di dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang membingungkan seperti: penulisan judul sub Sintesis Dikursif. Namun, di penjelasannya di tulis Sintesa diskursif. Untuk tulisan judul di cover sampingnya bertulisan Hidup Beragam. Namun, di cover depan bertuliskan Hidup Beragama, ini sangat membingungkan bagi pembaca, mana judul yang benar atau bukan judul.
Untuk saran terakhir, kami sebagai pembaca menyarankan untuk lampiran Piagam Madinah di tuliskan harakatnya, karna tidak semua orang bisa membaca arab gundul.


Biografi Penulis
            Dr. Aksin Wijaya, S.H., M. Ag. adalah dosen Usuluddin STAIN ponorogo. Aktif menulis, menerjemah, dan mengisi  berbagai seminar, pelatihan, dan bedah buku di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi sosial dan keagamaan. Tesisnya dinobatkan sebagai pemenang juara II (dua) Thesis Award (lomba tesis tingkat Nasional di kalangan dosen PTAI) se-Indonesia yang diadakan  Depertemen Agama RI, 2006. Doktor muda kelahiran sumenep, 1 Juli 1974 madura ini juga pernah terpilih sebagai salah satu peserta program Sandwich penelitian Disertasi Tafsir di Mesir yang diadakan Departemen Agama, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan PSQ Jakarta, pada Maret-Juli 2007. Di antara karyanya yang telah diterbitkan adalah Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Safiria Insania Press, 2004), Arah Baru Studi Ulumul Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Pustaka Pelajar, 2009) Kritik atas Kritik Interpretasi Al-Qur’an: Telah Kritis atas Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rushd (LkiS, 2009). 
© Riza Ashman 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis