BAB I
PENDAHULUAN
Ciri umum dari hukum yang paling menonjol adalah bahwa
eksistensinya berkaitan dengan perilaku manusia. Jenis-jenis tertentu perilaku
manusia tidak lagi bersifat pilihan (opsional), melainkan dalam pengertian
tertentu bersifat wajib. Karakteristik hukum yang nampak sederhana ini dalam
faktanya tidaklah sederhana. Pemahaman paling sederhana dimana perilaku tidak
lagi opsional adalah ketika seseorang dipaksa untuk mengerjakan apa yang
dikatakan orang lain kepadanya dengan adanya ancaman dan konsekuensi yang tidak
menyenangkan bila ia menolak. Jadi bagaimana hukum dan kewajiban hukum berbeda
dari, dan bagaimana kaitannya dengan, perintah-perintah yang ditopang oleh
ancaman.
Perkembangan asal mula hukum pemakalah melihat bahwa hukum itu
selain hadir sebagai pengatur manusia dengan manusia demikian juga hubungannya
dengan alam dan Tuhan. Hukum yang irasional (hukum atas otoritas Tuhan lahir
dengan adanya manusia secara individu untuk menjadi pedoman secara sosial dan
kepada alam sekitarnya. Sedangkan hukum rasional (hukum atas rekayasa manusia)
lahirnya, lebih pada adanya transaksi sosial selanjutnya berkembang menjadi
transaksi manusia untuk alam. Pada kesempatan pembuatan makalah ini kami
mencoba memberikan penjelasan mengenai Teori Hakekat Hukum, dengan Rumusan
Masalah, apa itu Teori Hakekat Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Teori Hukum
Banyak teori hukum
yang mengajarkan bahwa hukum harus stabil (stable), tetapi tidak boleh diam
(still) atau kaku (rigit). Sepintas kelihatannya pertanyaan tersebut salaing
bertentangan satu sama lain, tetapi sebenarnya tidak saling bertentangan .
kerena demikianlah salah satu facet hakiki dari hukum dimana di satu pihak
hukum harus mengandung unsur kepastia, dan prediktabilitas, sehingga dia harus
stabil. Tetapi dilain pihak hukum haruslah dinamis, sehingga selalu dapat
mengikuti dinamika perkembangan kehidupan manusia.
Disamping itu,
sering pula dikatakan bahwa seorang ahli hukum (dogmatis) mulai masuk kedunia
teori hukum manakala dia telah mulai meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dogmatis hukum, yakni pertanyaan-pertanyaan tentang “darimana”,
“mengapa”, “bagaimana”, dan “untuk apa” (Sudikno Metrokusumo, 2011: 11). Atau
dengan perkataan lain, pemikiran teoretisi memang agak menerawang, karena
memang dia diharuskan untuk banyak merenung.[1]
Pengertian Teori Hukum
Tentang pengertian
dari teori hukum itu sendiri, menurut sarjaana John D. Finch yang memberikan
pengertian kepada teori hukum tersebut, yaitu teori hukum merupakan studi
tentang sifat dari hal-hal yang penting dalam hukum yang lazim terdapat dalam sistem-sistem
hukum, dimana salah satu objek kajiannya adalah pembahasan mengenai unsur-unsur
dasar dari hukum yang membuat hukum berbeda dengan aturan standar lain yang
bukan sistem hukum namun yang jelas sepanjang sejarah perkembangan pemikiran
tentang hukum, tidak terdapat bukti-bukti cukup yang menyatakan bahwa manusia
bisa mendapat jawaban yang dogmatis dan final terhadap pertanyaan “apakah Hukum
itu”
Teori Hukum
Selanjutnya, seorang ahli hukum yang lain yaitu Van Apeldoorn
memberikan luas cakupan dari teori hukum sebagai berikut:
1.
Tentang
pengertian-pengertian hukum
2.
Tentang
objek ilmu hukum, pembuat undang-undang dan yurisprudensi.
3.
Tentang
hubungan hukum dengan logika. (Sudikno Mertokusumo, 2011: 91)
Secara lebih lengkap, sebenarnya yang menjadi ruang lingkup dari
teori hukum sebagai berikut:
1.
Yang
berkenaan dengan analisis hukum, yang meliputi:
a.
Pengertian
hukum.
b.
Kaidah
hukum.
c.
Lembaga-lembaga
dan bentuk-bentuk hukum.
d.
Pengertian
yang bersifat teori hukum dan filsafat hukum.
e.
Fungsi-fungsi
yuridis.
f.
Subersumber
hukum.
2.
Tentang
metodelogi pembentukan hukum.
3.
Yang berkenaan dengan metodelogi law
enforcement, yang mencangkupi:
a.
Penafsiran
undang-undang.
b.
Kekosongan
hukum
c.
Antinomi
dalam hukum.
d.
Penerapan
pengertian atau kaidah-kaidah yang kabur.
e.
Penafsiran
perbuatan hukum keperdataan.
f.
Argumentasi
yuridis
4.
Yang
berkenaan dengan ajaran ilmu dan ajaran tentang metode dan dogmatik hukum, yang
mencangkupi:
a.
Ajaran
ilmu dogmatik hukum.
b.
Ajaran
metode dogmatik hukum.
5.
Kritik
ideologi hukum, yang meliputi:
a.
Pembentukan
undang-undang.
b.
Peradilan.
c.
Dogmatik
hukum (Sudikno Mertokusumo, 2011: 91).
Kemudian, sebagaimana diketahui bahwa pemikiran dan
renungan-renungan tentang hakikat hukum tesebut sudah lama terdapat dalam
sejarah. Dan, sejak munculnya pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang kukum,
yakni sejak zaman Yunani (abad ke-5 sebelum masehi), teori dan filsafathukum
selalu menjadi jawaban terakhir bagi berbagai persoalan hukum prinsipiel yang
dialami oleh masyarakat, meskipun disepanjang zaman sampai saat ini teori dan
filsafat hukum tersebut terkadang muncul kepermukaan air tetapi terkadang tidak
sampai kepermukaan, tetapi bermain di dalamnya. Di antara pertanyaan yang
meminta filsafat hukum untuk menjawabnya apakah hak manusia tersebut merupakan
pemberian alam (hukum alam) ataupun pemberian dari undang-undang atau putusan
hakim.
Perbedaan antara ilmu hukum
dogmatis dengan teori hukum. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ilmu hukum
dogmatis dengan teori hukum adalah bahwa ilmu hukum positif atau dogmatis
membahas persoalan hukum dengan beracuan pada peraturan hukum positif yang
berlaku, sehingga besifat sangat “apa adanya” (das sein), tetapi sebaliknya
teori hukum tidak menganalisis hukum
dengan acuan kepada hukum positif atau
dogmatis yang berlaku, tetapi lebih mengacu kepada dalil-dalil teoritisnya
melalui suatu penalaran yang mendalam, sehingga berbeda dengan ilmu hukum
positif, teori hukum lebih melihat hukum sebagai “apa semestinya” (das sollen).
Dengan perkataan lain, yang dicari oleh ilmu hukum adalah validitas suatu
aturan hukum dan tindakan hukum, sedangkan teori hukum lebih mencari kebenaran
dan pencapaian keadilan dari suatu aturan atau kaidah hukum.
Disamping itu, karena teori hukum berbicara tentang hubungan antar
manusia, maka teori hukum akan befokus pada manusia. Memang dahulu kala ada
seperangkat aturan hukum yang berlaku dan diperuntukkan terhadap selain
manusia, misalnya terhadap binatang, seperti dalam contoh berikut ini:
1.
Seekor
binatang yang telah membunuh manusia dapat digugat dan diproses secara hukum
(hukum di abad pertengahan).
2.
Para
belalang yang telah merusak tanaman dapat digugat dan diproses (hukum di abad
pertengahan).
3.
Seekor sapi jantan yang telah membunuh
manusia, maka sapi tersebut juga harus dibunuh (Bible).
4.
Alam,
binatang, dan tumbuh-tumbuhan merupakan subjek hukum, sehingga dia memiliki hak
asasi dan hak standing untuk beracara di pengadilan (teori hukum lingkungan
yang modern).
Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa dalam memandang hukum, ada
perbedaan pokok antara pendekatan yang dilakukan oleh paham ilmu hukum analitis
dengan paham dari paham ilmu hukum
normatif. Jika paham ilmu hukum analitis memandang hukum sebagai apa adanya
dalam kenyataan (das sein), sedangkan ilmu normatif lebih memandang hukum
sebagai apa seharusnya terjadi (das sollen), yakni apa yang benar atau, salah
atau apa yang baik atau buruk berdasarkan berbagai ukuran termasuk ukuran
moral. Kedua macam pandangan yang berbeda secara prinsipiel ini telah
memelopori timbulnya perbedaan terhadap berbagai teori hukum yang mereka
kembangkan.
Hakekat Hukum
Menurut H.L.A. Hart, ada tiga persoalan pokok yang muncul
berulang-ulang sehingga memunculkan pertanyaan apa hakekat hukum[2], yaitu sebagai berikut :
A.
Yang
pertama, ciri umum dari hukum yang paling menonjol adalah bahwa eksistensinya
berkaitan dengan perilaku manusia. Jenis-jenis tertentu perilaku manusia tidak
lagi bersifat pilihan (opsional), melainkan dalam pengertian tertentu bersifat
wajib. Karakteristik hukum yang nampak sederhana ini dalam faktanya tidaklah
sederhana. Pemahaman paling sederhana dimana perilaku tidak lagi opsional
adalah ketika seseorang dipaksa untuk mengerjakan apa yang dikatakan orang lain
kepadanya dengan adanya ancaman dan konsekuensi yang tidak menyenangkan bila ia
menolak. Jadi bagaimana hukum dan kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana
kaitannya dengan, perintah-perintah yang ditopang oleh ancaman. Hal ini menjadi
permasalahan pokok yang ada di balik pertanyaan apa itu hakekat hukum.
- Persoalan kedua yaitu bagaimana
perilaku mungkin tidak bersifat pilihan melainkan wajib.
Peraturan-peraturan moral membebankan kewajiban dan menghilangkan pilihan
bebas individu untuk melakukan hal yang ia sukai dalam wilayah perilaku
tertentu. Jadi, bagaimana kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana ia
terkait dengan kewajiban moral, menjadi persoalan yang juga turut ada di
balik pertanyaan apa hakekat hukum itu.
- Persoalan pokok ketiga yang
terus menerus memicu persoalan apa hakekat hukum itu tergolong persoalan
yang lebih umum, yaitu apa itu peraturan dan sampai kadar apa hukum
merupakan persoalan mengenai peraturan.
Hakekat
hukum itu sendiri dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi
tentang hukum. Definisi menarik garis batas atau membedakan antara jenis
sesuatu dan yang lainnya, yang oleh bahasa ditandai dengan sebutan sendiri.
Maksud dari definisi adalah untuk menetukan batas-batas sebuah pengertian
secermat mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang
diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah
tertentu.[3]
Sampai
saat ini para ahli hukum sendiri pun masih mencari tentang apa definisi dari
hukum. Membuat definisi hukum tidaklah mudah sehingga tidak mungkin orang dapat
membuat definisi secara memuaskan. Sukarnya membuat definisi ini terbukti dari
sejak jaman Romawi hingga sekarang tidak ada keseragaman di antara para sarjana
atau ahli hukum mengenai definisi hukum. Metode pendefinisian hukum itu sendiri menurut
G.W. Paton (dalam Prof. Dr. Achmad Ali, SH., M.H.) dapat memilih salah satu dari
lima kemungkinan, yaitu : [4]
- Sesuai sifat-sifatnya yang
mendasar, logis, religius, ataupun etis.
- Menurut sumbernya, yaitu
kebiasaan, preseden, atau undang-undang.
- Menurut efeknya di dalam
kehidupan masyarakat.
- Menurut metode pernyataan
formalnya atau pelaksanaan otoritasnya.
- Menurut tujuan yang ingin
dicapainya.
TEORI – TEORI HAKEKAT HUKUM
1. Teori
Imperatif (Hukum merupakan perintah)
Teori imperatif artinya mencari
hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan
dan Perintah penguasa yang berdaulat. Pada teori hakekat imperatif ini terdapat
2 teori besar didalamnya yaitu :
a.
Teori Hukum Alam - Thomas Aquinas (1225 - 1274)
Teori hukum
alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex)
dalam skema, yaitu :
Hukum menurut Aquinas, harus dibangun
dalam struktur yang berpuncak kepada kehendak Tuhan. Maka konfigurasi tata
hukum dimulai dari: (1) lex aeterna atau hukum dan kehendak Tuhan, (2) lex
naturalis atau hukum alam, (3) lex divina atau hukum Tuhan dalam
kitab suci, dan (4) lex humane atau hukum buatan manusia yang sesuai
dengan hukum alam. Pengklasifikasiannya yaitu lex aeterna dan lex
divina itu berasal dari wahyu Tuhan sedangkan lex naturalis dan lex
humane itu berasal dari akal manusia (ciptaan rasional). Jadi, bersumber
pada lex naturalis, hukum dalam perundang-undangan itu harus: rasional,
ditujukan bagi kebaikan umum, dibuat oleh nalar semua orang, dan perlu
dipublikasikan kepada orang banyak.[5]
b. Teori John Austin (1790-1859) - ANALYTICAL JURISPRUDENCE
Aliran positivisme hukum Jhon Austin
beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi.
Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori
hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law
(undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).
John Austin dengan
analytical legal positivism-nya memberikan ajaran positivisme yuridis
bahwa hukum merupakan perintah-perintah dalam bentuk peraturan-peraturan formal
dari penguasa yang sah suatu negara dan keberlakuannya dipaksakan. Kalau tidak,
maka dijatuhi sanksi. Sehingga unsur-unsur hukum menurut Austin antara lain:
(1) penguasa; (2) perintah; (3) kewajiban; dan (4) sanksi.[6]
2. Teori Indikatif
(Kenyataan sosial yang mendalam)
Teori indikatif bisa disebut juga
teori yang mempelajari hukum dalam kenyataan sosial. Pada teori hakekat
Indikatif ini terdapat 2 teori besar didalamnya yaitu :
a.
Teori
Friedrich Carl von Savigny - MAZHAB SEJARAH (1770-1861)
Von Savigny dengan
madzhab sejarahnya terdapat relasi antara hukum dengan watak bangsa yang
merupakan cerminan dari volkgeist atau jiwa bangsa. Maka hukum adat yang
tumbuh dan berkembang dalam volkgeist harus dipandang sebagai hukum
kehidupan yang sejati. Persoalan utama dalam hukum adalah menemukan asas dan
doktrin dalam nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang mengikuti evolusi volkgeist.
Lalu posisi ilmuwan hukum berada di depan pembuat UU.[7]
b.
Teori
Roscoe Pound - SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE (1912)
Aliran
sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound
dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”
Roscoe Pound menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik
(fungsional) antara hukum dengan masyarakat. Artinya hukum yang baik menurut
Pound adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau
populernya the living law yang digagas oleh Eugen Erlich. Untuk
mempraktikkannya, maka dilakukan langkah yang progresif, yaitu memfungsikan
hukum untuk menata atau sebagai alat perubahan, sehingga muncullah teorinya
tentang law as a tool of social engineering. Agar benar-benar efektif
sebagai alat rekayasa sosial, Pound mengajukan 6 langkah:
1. Mempelajari social effect yang nyata dari peran lembaga dan
doktrin-doktrin hukum.
2. Melakukan studi sosiologis untuk menyiapkan per-UU-an dan
dijalankan.
3. Melakukan studi bagaimana peraturan hukum mjd. Efektif.
4. Melakukan studi sejarah hukum tentang social effect yang
timbul dari doktrin hukum masa lalu.
5. Melakukan penyelesaian individu berdasarkan nalar, bukan semata
peraturan hukum.
6. Mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum.
- Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum
posistif atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara)
tertentu pada suatu waktu tertentu. [8]
Contoh : UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Hukum tidak tertulis
1. Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat
para pihak yang terkait
2. Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan
dari penguasa adat
3. Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua
negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian
tersebut.
4. Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka
5. Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang
berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan
putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law).
3. Teori
Optatiif (Tujuan hukum)
a.
Teori Aristoteles (384 SM – 322 SM) - Keadilan
Inti manusia moral
yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria,
kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Hal ini manusia
dipandu dua peran, yaitu akal dan moral. Akal (ratio, nalar) memandu
pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni. Sedang moral
memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan,
termasuk dalam menentukan keadilan (sikap moderat).
Dasar teori
Aristoteles menempatkan “perasaan sosial etis” dalam ranah keadilan yang
bertumpu kepada tiga prinsip keadilan umum, yaitu honeste vivere, alterum
non laedere, sum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu
orang lain dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Prinsip ini patokan dari
apa yang benar, baik dan tepat dalam hidup sehingga mengikat semua orang, baik
masyarakat maupun penguasa. Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori
etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
A. Distributive,
yang didasarkan pada prestasi
B. Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa
C. Vindikatif,
bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya
D. Kreatif,
bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif
E. Legalis,
yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang.
b. Teori Hans Kelsen ( 1881-1973 ) - Kepastian
Hukum sebagai
suatu sistem norma, yang dibuat menurut norma yang lebih tinggi dan tertinggi
yaitu Grundnorm atau norma dasar. Norma dasar ini harus dibersihkan dari
anasir-anasir yang bersifat meta-yuridis, maka harus diletakkan di luar kajian
hukum. Dengan menggunakan konsep Stufenbau Theory, Kelsen mengkonstruksi
aturan-aturan yang tertib yuridis dengan ditentukan jenjang perundang-undangan
secara hierarki, mulai dari yang abstrak (grundnorm) sampai kepada yang
konkret dari sistem perundang-undangan. Dan sistem perundang-undangan itu satu
sama lain harus konsisten, koheren dan koresponden.[9]
Hans kelsen
dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung
arti :
A.
Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
B.
Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim
dalam memutus perkara.
C.
Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan
dalam pelaksanaannya.
D.
Hukum itu bersifat dogmatic.
BAB III
PENUTUP
Teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam
perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara
tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun
dalam pengolahan praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji. Secara
teori memang hakikat hukum akan sulit untuk diberikan batasan sebab hakikat
hukum mempunyai banyak dimensi. Adalah tergantung pada interpretasi dan sudut
pandang aliran hukum. Jadi hakikat hukum adalah suatu bagian hukum yang
mempelajari esensi atau dasar dari suatu hukum, hakekat hukum berbicara pada
tataran hukum secara filosofis bukan hukum secara normatif, atau mengkaji apa
dibalik hukum. Hakikat hukum merupakan mencari makna yang paling dalam, hukum
senantiasa mempelajari hukum secara filosofis yang obyek kajiannya adalah hukum
itu sendiri sehingga menimbulkan teori – teori hukum yang bisa berlaku dari
dahulu hingga sekarang.
Hakekat hukum itu sendiri dapat dijelaskan dengan cara memberikan
suatu definisi tentang hukum. Definisi menarik garis batas atau membedakan
antara jenis sesuatu dan yang lainnya, yang oleh bahasa ditandai dengan sebutan
sendiri. Maksud dari definisi adalah untuk menetukan batas-batas sebuah
pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap
keadaan, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan
atau istilah tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Munir Fuady. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. Yogyakarta, 2013.
H.L.A. Hart, konsep hukum (The
Concept of Law). Bandung: Nusa
Media.
Budi Ruhiatudin.
Pengantar Ilmu Hukum. 2008.
Satjipto Raharjo. Lapisan-Lapisan
Dalam Studi Hukum. 2009.
J.J.H. Bruggink. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Ali Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Leg
[1] Munir
Fuady, Teori-teori besar dalam hukum, (kencana, 2013) hal. 1
[2]. H.L.A.
Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Bandung, Nusa Media, 2010, hal.
9
[3]. J.J.H.
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999,
hal. 71
[4]. Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Kencana, 2009, hal.
42-43
[5]. DR.Munir
Fuady, S.H., M.H., LL.M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum ,
hal. 17
[6] . DR.Munir
Fuady, S.H., M.H., LL.M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum ,
hal. 74
[7]. Satjipto
Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, hal 209
[8]. Budi
Ruhiatudin, S.H., M.Hum. Pengantar Ilmu Hukum, Hal 45 dan 46
[9]. DR.Munir
Fuady, S.H., M.H., LL.M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum ,
hal. 115