Senin, 08 Juni 2015

PENGANTAR ILMU HUKUM TEORI HAKEKAT HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN

Ciri umum dari hukum yang paling menonjol adalah bahwa eksistensinya berkaitan dengan perilaku manusia. Jenis-jenis tertentu perilaku manusia tidak lagi bersifat pilihan (opsional), melainkan dalam pengertian tertentu bersifat wajib. Karakteristik hukum yang nampak sederhana ini dalam faktanya tidaklah sederhana. Pemahaman paling sederhana dimana perilaku tidak lagi opsional adalah ketika seseorang dipaksa untuk mengerjakan apa yang dikatakan orang lain kepadanya dengan adanya ancaman dan konsekuensi yang tidak menyenangkan bila ia menolak. Jadi bagaimana hukum dan kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana kaitannya dengan, perintah-perintah yang ditopang oleh ancaman.
Perkembangan asal mula hukum pemakalah melihat bahwa hukum itu selain hadir sebagai pengatur manusia dengan manusia demikian juga hubungannya dengan alam dan Tuhan. Hukum yang irasional (hukum atas otoritas Tuhan lahir dengan adanya manusia secara individu untuk menjadi pedoman secara sosial dan kepada alam sekitarnya. Sedangkan hukum rasional (hukum atas rekayasa manusia) lahirnya, lebih pada adanya transaksi sosial selanjutnya berkembang menjadi transaksi manusia untuk alam. Pada kesempatan pembuatan makalah ini kami mencoba memberikan penjelasan mengenai Teori Hakekat Hukum, dengan Rumusan Masalah, apa itu Teori Hakekat Hukum.









BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan Teori Hukum
            Banyak teori hukum yang mengajarkan bahwa hukum harus stabil (stable), tetapi tidak boleh diam (still) atau kaku (rigit). Sepintas kelihatannya pertanyaan tersebut salaing bertentangan satu sama lain, tetapi sebenarnya tidak saling bertentangan . kerena demikianlah salah satu facet hakiki dari hukum dimana di satu pihak hukum harus mengandung unsur kepastia, dan prediktabilitas, sehingga dia harus stabil. Tetapi dilain pihak hukum haruslah dinamis, sehingga selalu dapat mengikuti dinamika perkembangan kehidupan manusia.
            Disamping itu, sering pula dikatakan bahwa seorang ahli hukum (dogmatis) mulai masuk kedunia teori hukum manakala dia telah mulai meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dogmatis hukum, yakni pertanyaan-pertanyaan tentang “darimana”, “mengapa”, “bagaimana”, dan “untuk apa” (Sudikno Metrokusumo, 2011: 11). Atau dengan perkataan lain, pemikiran teoretisi memang agak menerawang, karena memang dia diharuskan untuk banyak merenung.[1]

Pengertian Teori Hukum
            Tentang pengertian dari teori hukum itu sendiri, menurut sarjaana John D. Finch yang memberikan pengertian kepada teori hukum tersebut, yaitu teori hukum merupakan studi tentang sifat dari hal-hal yang penting dalam hukum yang lazim terdapat dalam sistem-sistem hukum, dimana salah satu objek kajiannya adalah pembahasan mengenai unsur-unsur dasar dari hukum yang membuat hukum berbeda dengan aturan standar lain yang bukan sistem hukum namun yang jelas sepanjang sejarah perkembangan pemikiran tentang hukum, tidak terdapat bukti-bukti cukup yang menyatakan bahwa manusia bisa mendapat jawaban yang dogmatis dan final terhadap pertanyaan “apakah Hukum itu”


Teori Hukum
Selanjutnya, seorang ahli hukum yang lain yaitu Van Apeldoorn memberikan luas cakupan dari teori hukum sebagai berikut:
1.      Tentang pengertian-pengertian hukum
2.      Tentang objek ilmu hukum, pembuat undang-undang dan yurisprudensi.
3.      Tentang hubungan hukum dengan logika. (Sudikno Mertokusumo, 2011: 91)
Secara lebih lengkap, sebenarnya yang menjadi ruang lingkup dari teori hukum sebagai berikut:
1.      Yang berkenaan dengan analisis hukum, yang meliputi:
a.       Pengertian hukum.
b.      Kaidah hukum.
c.       Lembaga-lembaga dan bentuk-bentuk hukum.
d.      Pengertian yang bersifat teori hukum dan filsafat hukum.
e.       Fungsi-fungsi yuridis.
f.       Subersumber hukum.
2.      Tentang metodelogi pembentukan hukum.
3.       Yang berkenaan dengan metodelogi law enforcement, yang mencangkupi:
a.       Penafsiran undang-undang.
b.      Kekosongan hukum
c.       Antinomi dalam hukum.
d.      Penerapan pengertian atau kaidah-kaidah yang kabur.
e.       Penafsiran perbuatan hukum keperdataan.
f.       Argumentasi yuridis
4.      Yang berkenaan dengan ajaran ilmu dan ajaran tentang metode dan dogmatik hukum, yang mencangkupi:
a.       Ajaran ilmu dogmatik hukum.
b.      Ajaran metode dogmatik hukum.
5.      Kritik ideologi hukum, yang meliputi:
a.       Pembentukan undang-undang.
b.      Peradilan.
c.       Dogmatik hukum (Sudikno Mertokusumo, 2011: 91).
Kemudian, sebagaimana diketahui bahwa pemikiran dan renungan-renungan tentang hakikat hukum tesebut sudah lama terdapat dalam sejarah. Dan, sejak munculnya pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang kukum, yakni sejak zaman Yunani (abad ke-5 sebelum masehi), teori dan filsafathukum selalu menjadi jawaban terakhir bagi berbagai persoalan hukum prinsipiel yang dialami oleh masyarakat, meskipun disepanjang zaman sampai saat ini teori dan filsafat hukum tersebut terkadang muncul kepermukaan air tetapi terkadang tidak sampai kepermukaan, tetapi bermain di dalamnya. Di antara pertanyaan yang meminta filsafat hukum untuk menjawabnya apakah hak manusia tersebut merupakan pemberian alam (hukum alam) ataupun pemberian dari undang-undang atau putusan hakim.
 Perbedaan antara ilmu hukum dogmatis dengan teori hukum. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ilmu hukum dogmatis dengan teori hukum adalah bahwa ilmu hukum positif atau dogmatis membahas persoalan hukum dengan beracuan pada peraturan hukum positif yang berlaku, sehingga besifat sangat “apa adanya” (das sein), tetapi sebaliknya teori hukum tidak menganalisis  hukum dengan acuan kepada hukum  positif atau dogmatis yang berlaku, tetapi lebih mengacu kepada dalil-dalil teoritisnya melalui suatu penalaran yang mendalam, sehingga berbeda dengan ilmu hukum positif, teori hukum lebih melihat hukum sebagai “apa semestinya” (das sollen). Dengan perkataan lain, yang dicari oleh ilmu hukum adalah validitas suatu aturan hukum dan tindakan hukum, sedangkan teori hukum lebih mencari kebenaran dan pencapaian keadilan dari suatu aturan atau kaidah hukum.
Disamping itu, karena teori hukum berbicara tentang hubungan antar manusia, maka teori hukum akan befokus pada manusia. Memang dahulu kala ada seperangkat aturan hukum yang berlaku dan diperuntukkan terhadap selain manusia, misalnya terhadap binatang, seperti dalam contoh berikut ini:
1.      Seekor binatang yang telah membunuh manusia dapat digugat dan diproses secara hukum (hukum di abad pertengahan).
2.      Para belalang yang telah merusak tanaman dapat digugat dan diproses (hukum di abad pertengahan).
3.       Seekor sapi jantan yang telah membunuh manusia, maka sapi tersebut juga harus dibunuh (Bible).
4.      Alam, binatang, dan tumbuh-tumbuhan merupakan subjek hukum, sehingga dia memiliki hak asasi dan hak standing untuk beracara di pengadilan (teori hukum lingkungan yang modern).
Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa dalam memandang hukum, ada perbedaan pokok antara pendekatan yang dilakukan oleh paham ilmu hukum analitis dengan paham  dari paham ilmu hukum normatif. Jika paham ilmu hukum analitis memandang hukum sebagai apa adanya dalam kenyataan (das sein), sedangkan ilmu normatif lebih memandang hukum sebagai apa seharusnya terjadi (das sollen), yakni apa yang benar atau, salah atau apa yang baik atau buruk berdasarkan berbagai ukuran termasuk ukuran moral. Kedua macam pandangan yang berbeda secara prinsipiel ini telah memelopori timbulnya perbedaan terhadap berbagai teori hukum yang mereka kembangkan.
Hakekat Hukum
            Menurut H.L.A. Hart, ada tiga persoalan pokok yang muncul berulang-ulang sehingga memunculkan pertanyaan apa hakekat hukum[2], yaitu sebagai berikut :
A.    Yang pertama, ciri umum dari hukum yang paling menonjol adalah bahwa eksistensinya berkaitan dengan perilaku manusia. Jenis-jenis tertentu perilaku manusia tidak lagi bersifat pilihan (opsional), melainkan dalam pengertian tertentu bersifat wajib. Karakteristik hukum yang nampak sederhana ini dalam faktanya tidaklah sederhana. Pemahaman paling sederhana dimana perilaku tidak lagi opsional adalah ketika seseorang dipaksa untuk mengerjakan apa yang dikatakan orang lain kepadanya dengan adanya ancaman dan konsekuensi yang tidak menyenangkan bila ia menolak. Jadi bagaimana hukum dan kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana kaitannya dengan, perintah-perintah yang ditopang oleh ancaman. Hal ini menjadi permasalahan pokok yang ada di balik pertanyaan apa itu hakekat hukum.
  1. Persoalan kedua yaitu bagaimana perilaku mungkin tidak bersifat pilihan melainkan wajib. Peraturan-peraturan moral membebankan kewajiban dan menghilangkan pilihan bebas individu untuk melakukan hal yang ia sukai dalam wilayah perilaku tertentu. Jadi, bagaimana kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana ia terkait dengan kewajiban moral, menjadi persoalan yang juga turut ada di balik pertanyaan apa hakekat hukum itu.
  2. Persoalan pokok ketiga yang terus menerus memicu persoalan apa hakekat hukum itu tergolong persoalan yang lebih umum, yaitu apa itu peraturan dan sampai kadar apa hukum merupakan persoalan mengenai peraturan.
            Hakekat hukum itu sendiri dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Definisi menarik garis batas atau membedakan antara jenis sesuatu dan yang lainnya, yang oleh bahasa ditandai dengan sebutan sendiri. Maksud dari definisi adalah untuk menetukan batas-batas sebuah pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu.[3]
            Sampai saat ini para ahli hukum sendiri pun masih mencari tentang apa definisi dari hukum. Membuat definisi hukum tidaklah mudah sehingga tidak mungkin orang dapat membuat definisi secara memuaskan. Sukarnya membuat definisi ini terbukti dari sejak jaman Romawi hingga sekarang tidak ada keseragaman di antara para sarjana atau ahli hukum mengenai definisi hukum. Metode pendefinisian hukum itu sendiri menurut G.W. Paton (dalam Prof. Dr. Achmad Ali, SH., M.H.) dapat memilih salah satu dari lima kemungkinan, yaitu : [4]
  1. Sesuai sifat-sifatnya yang mendasar, logis, religius, ataupun etis.
  2. Menurut sumbernya, yaitu kebiasaan, preseden, atau undang-undang.
  3. Menurut efeknya di dalam kehidupan masyarakat.
  4. Menurut metode pernyataan formalnya atau pelaksanaan otoritasnya.
  5. Menurut tujuan yang ingin dicapainya.
TEORI – TEORI HAKEKAT HUKUM
1. Teori Imperatif (Hukum merupakan perintah)
            Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat. Pada teori hakekat imperatif ini terdapat 2 teori besar didalamnya yaitu :
a.      Teori Hukum Alam - Thomas Aquinas (1225 - 1274)

            Teori hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam skema, yaitu :
  
      Hukum menurut Aquinas, harus dibangun dalam struktur yang berpuncak kepada kehendak Tuhan. Maka konfigurasi tata hukum dimulai dari: (1) lex aeterna atau hukum dan kehendak Tuhan, (2) lex naturalis atau hukum alam, (3) lex divina atau hukum Tuhan dalam kitab suci, dan (4) lex humane atau hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam. Pengklasifikasiannya yaitu lex aeterna dan lex divina itu berasal dari wahyu Tuhan sedangkan lex naturalis dan lex humane itu berasal dari akal manusia (ciptaan rasional). Jadi, bersumber pada lex naturalis, hukum dalam perundang-undangan itu harus: rasional, ditujukan bagi kebaikan umum, dibuat oleh nalar semua orang, dan perlu dipublikasikan kepada orang banyak.[5]

b.      Teori John Austin (1790-1859) - ANALYTICAL JURISPRUDENCE

            Aliran positivisme hukum Jhon Austin beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law (undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).
            John Austin dengan analytical legal positivism-nya memberikan ajaran positivisme yuridis bahwa hukum merupakan perintah-perintah dalam bentuk peraturan-peraturan formal dari penguasa yang sah suatu negara dan keberlakuannya dipaksakan. Kalau tidak, maka dijatuhi sanksi. Sehingga unsur-unsur hukum menurut Austin antara lain: (1) penguasa; (2) perintah; (3) kewajiban; dan (4) sanksi.[6]
2. Teori Indikatif (Kenyataan sosial yang mendalam)
            Teori indikatif bisa disebut juga teori yang mempelajari hukum dalam kenyataan sosial. Pada teori hakekat Indikatif ini terdapat 2 teori besar didalamnya yaitu :
a.       Teori Friedrich Carl von Savigny - MAZHAB SEJARAH (1770-1861)

            Von Savigny dengan madzhab sejarahnya terdapat relasi antara hukum dengan watak bangsa yang merupakan cerminan dari volkgeist atau jiwa bangsa. Maka hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam volkgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Persoalan utama dalam hukum adalah menemukan asas dan doktrin dalam nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang mengikuti evolusi volkgeist. Lalu posisi ilmuwan hukum berada di depan pembuat UU.[7]
b.      Teori Roscoe Pound - SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE (1912)                 
Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”

           
            Roscoe Pound menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik (fungsional) antara hukum dengan masyarakat. Artinya hukum yang baik menurut Pound adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau populernya the living law yang digagas oleh Eugen Erlich. Untuk mempraktikkannya, maka dilakukan langkah yang progresif, yaitu memfungsikan hukum untuk menata atau sebagai alat perubahan, sehingga muncullah teorinya tentang law as a tool of social engineering. Agar benar-benar efektif sebagai alat rekayasa sosial, Pound mengajukan 6 langkah:
1.       Mempelajari social effect yang nyata dari peran lembaga dan doktrin-doktrin hukum.
2.       Melakukan studi sosiologis untuk menyiapkan per-UU-an dan dijalankan.
3.       Melakukan studi bagaimana peraturan hukum mjd. Efektif.
4.       Melakukan studi sejarah hukum tentang social effect yang timbul dari doktrin hukum masa lalu.
5.       Melakukan penyelesaian individu berdasarkan nalar, bukan semata peraturan hukum.
6.       Mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum.
  • Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum posistif  atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu. [8]
Contoh : UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Hukum tidak tertulis
1.       Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait
2.       Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat
3.       Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
4.       Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka
5.       Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law).

3. Teori Optatiif (Tujuan hukum)
a. Teori Aristoteles (384 SM – 322 SM) - Keadilan
            Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Hal ini manusia dipandu dua peran, yaitu akal dan moral. Akal (ratio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni. Sedang moral memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan (sikap moderat).
            Dasar teori Aristoteles menempatkan “perasaan sosial etis” dalam ranah keadilan yang bertumpu kepada tiga prinsip keadilan umum, yaitu honeste vivere, alterum non laedere, sum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Prinsip ini patokan dari apa yang benar, baik dan tepat dalam hidup sehingga mengikat semua orang, baik masyarakat maupun penguasa. Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
A. Distributive, yang didasarkan pada prestasi
B.  Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa
C. Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya
D. Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif
E. Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang.

b. Teori Hans Kelsen ( 1881-1973 ) - Kepastian
            Hukum sebagai suatu sistem norma, yang dibuat menurut norma yang lebih tinggi dan tertinggi yaitu Grundnorm atau norma dasar. Norma dasar ini harus dibersihkan dari anasir-anasir yang bersifat meta-yuridis, maka harus diletakkan di luar kajian hukum. Dengan menggunakan konsep Stufenbau Theory, Kelsen mengkonstruksi aturan-aturan yang tertib yuridis dengan ditentukan jenjang perundang-undangan secara hierarki, mulai dari yang abstrak (grundnorm) sampai kepada yang konkret dari sistem perundang-undangan. Dan sistem perundang-undangan itu satu sama lain harus konsisten, koheren dan koresponden.[9]
Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :
A.    Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
B.     Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.
C.     Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
D.    Hukum itu bersifat dogmatic.


BAB III
PENUTUP

Teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji. Secara teori memang hakikat hukum akan sulit untuk diberikan batasan sebab hakikat hukum mempunyai banyak dimensi. Adalah tergantung pada interpretasi dan sudut pandang aliran hukum. Jadi hakikat hukum adalah suatu bagian hukum yang mempelajari esensi atau dasar dari suatu hukum, hakekat hukum berbicara pada tataran hukum secara filosofis bukan hukum secara normatif, atau mengkaji apa dibalik hukum. Hakikat hukum merupakan mencari makna yang paling dalam, hukum senantiasa mempelajari hukum secara filosofis yang obyek kajiannya adalah hukum itu sendiri sehingga menimbulkan teori – teori hukum yang bisa berlaku dari dahulu hingga sekarang.
Hakekat hukum itu sendiri dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Definisi menarik garis batas atau membedakan antara jenis sesuatu dan yang lainnya, yang oleh bahasa ditandai dengan sebutan sendiri. Maksud dari definisi adalah untuk menetukan batas-batas sebuah pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu.
           


DAFTAR PUSTAKA

Munir Fuady. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. Yogyakarta, 2013.
H.L.A. Hart, konsep hukum (The Concept of Law). Bandung: Nusa Media.
Budi Ruhiatudin. Pengantar Ilmu Hukum. 2008.
Satjipto Raharjo. Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum. 2009.
J.J.H. Bruggink. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti,  1999.
Ali  Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)        Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Leg


[1] Munir Fuady, Teori-teori besar dalam hukum, (kencana, 2013) hal. 1
[2]. H.L.A. Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Bandung, Nusa Media, 2010, hal. 9
[3]. J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 71
[4]. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Kencana, 2009, hal. 42-43
[5]. DR.Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum , hal. 17
[6] . DR.Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum , hal. 74
[7]. Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, hal 209
[8]. Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum. Pengantar Ilmu Hukum, Hal 45 dan 46
[9]. DR.Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum , hal. 115
© Riza Ashman 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis