BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada dasarnya kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup pribadi maupun keluarga. Dengan kegiatan itu mereka
memperoleh rizki, dan dengan rizki itu mereka dapat melangsungkan kehidupannya secara
layak, makan, minum, tidur dan menjalani kehidupan berumah tangga.
Bagi orang islam Al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang berkebenaran absolut. Sunnah Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai
menjelaskan kandungan Al-Qur’an. Terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi
yang memotivasi manusia untuk bekerja yang kegiatan ekonomi termasuk didalamnya
dan mencela orang yang menjadi pemalas. Tapi tidak semua kegiatan ekonomi di
benarkan dalam Al-Qur’an. Jika kegiatan itu mempunyai watak yang dapat
merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil seseorang, seperti
monopoli dagang, perjudian dan juga riba, maka itu semua pasti akan ditolak.
Termasuk praktek riba yang sangat membahanyakan bagi manusia, menguntungkan
disatu pihak saja tapi kemudian merugikan banyak orang.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apa
itu riba?
2.
Bagaimana
praktek riba pada masa rasul?
3.
Bagaimana
corak riba itu sendiri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIBA
Akar kata riba adalah rangkaian huruf ra’ dan ba’, dan huruf
‘illat. Menurut bahasa riba’ berarti ziyadah (tambahan) dan nama (tumbuh).
Pertambahan juga bisa disebabkan oleh faktor interen dan juga bisa faktor
eksteren. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang seakar dengan kata riba.
Meskipun masing-masing kata mempunyai pengertian teknis yang berbeda, tetapi
terdapat unsur kesamaan, yaitu “tambah/lebih”.[1]
Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan
pada harta dalam akad tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Di dalam Islam Riba dalam
bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT.
Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam
firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai
berikut.
Ayat al-qur’an yang melarang orang Mukmin agar tidak memakan riba
dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من
الربا إن كنتم مؤمنين
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang
beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Firman Allah yang akan memberikan siksa atau Azab bagi orang-orang
yang memakan riba yaitu :
وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل
وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما
Artinya: “Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161)
B.
JAZIRAH ARAB
Islam, agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, yang diturunkan di
jazirah arab, tepatnya di Makkah-Madinah dan sekitarnya, ditandai dengan
turunnya Al-qur’an. Sering kali ayat Al-Qur’an turun dengan membawa gambaran
kondisi sosial Arab atau kasus tertentu tentang peri kehidupan mereka.
Karenanya, mengenal lebih jauh tentang kondisi Arab di masa sebelum dan ketika
turun Al-Qur’an akan membantu orang memahami pesan yang terkandung di dalamnya
secara utuh. Jazirah Arab terletak di Asia sebelah Barat Daya dan dibatasi oleh
daratan Syam (syria) di sebelah utara, daratandan teluk persia serta teluk Oman
di sebelah timur, laut India dan teluk Aden di sebelah selatan, dan laut Merah
di sebelah Barat daratan Arab yang tergolong sangat luas ini terdiri atas
padang pasir luas dan stepa, dan sedikit
tanah subur. Jazirah Arab termasuk area yang tanahnya tandus dan kering serta
berhawa panas. Biarpun daratan ini dikelilingi laut-laut ia tetap miskin hujan.
Yaman adalah daerah yang paling banyak memiliki tanah subur. Katanya, hanya
daera yaman dan ‘Asir (pantai barat Arab bagian selatan) yang memperoleh hujan
teratur. Hasil pertanian dari daerah-daerah subur yang menonjol adalah gandum
dan korma. Secara keseluruhan, hasil alam dari Arab yang besar adalah emas
murni dan kemenyan.
Dikaitkan dengan agama, penduduk Arab dapat dikelompokkan menjadi
tiga, Nasrani, Yahudi dan penganut Paganisme. Kedua agama tersebut terdahulu
merupakan agama inpor sedangkan yang disebukkan agama terakhir merupakan agama
peribumi. Beberapa abad sebelum islam, agama nasrani dan yahudi sudah tersebar
diarab, bahkan telah tersebar sampai di Arab bagian selatan. Daerah koloni yang
terpenting bagi orang-orang Yahudi adalah yastrib, kelak menjadi Madinah, dan
bagi orang Nasrani adalah Najran.
Sebelum Islam
datang, Yastrib dihuni oleh orang Yahudi dan orang Arab selatan yang dikenal
dengan suku Aus dan Khazraj, ketika orang Aus dan Khazraj datang, Yastrib
dikuasai oelah orang Yahudi, yang dikenal pandai berdagang dan bercocok tanam.
Semula hubungan antara kedua pihak ini baik. Tetapi beberapa waktu sebelum Nabi
berhijrah kesana, hubungan mereka memburuk, dan Yastrib menjadi ajang perebutan
pengaruh premordial (pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang
dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun
segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya). Kesepakatan penduduk
yastrib menghadirkan Nabi di sana dilatarbelakangi oleh persoalan ini.
Penduduk makkah pada umumnya menganut paganisme. Hanya sebagian
kecil dari mereka beragama samawi. Kalau perdagangan di Madinah dikuasai oleh
orang Yahudi, maka di Makkah perdangangan dikuasai oleh orang Quraisy. Pada
masa Arab pra-Islam atau yang sering disebut masa jahiliyah sudah biasa
melakukan transaksi berbau riba. Ath-Thabari menyatakan: “Pada masa jahiliyah,
praktik riba terletak pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu tahun.
Misalnya, seorang berhutang. Ketika sudah jatuh tempo, datanglah pemberi hutang
untuk menagihnya seraya berkata, ‘Engkau akan membayar hutangmu ataukah akan
memberikan tambahan (bunga) nya saja kepadaku?Jika ia memiliki sesuatu yang
dapat ia bayarkan maka ia pun membayarnya. Jika tidak, maka ia akan
menyempurnakannya hingga satu tahun ke depan. Jika hutangnya berupa ibnatu
makhadh (anak unta yang berumur satu tahun), maka pembaysarannya menjadi ibnatu
labun (anak unta yang berumur dua tahun) pads tahun kedua.
Kemudian la akan menjadikannya hiqqah (anak unta yang berumur tiga
tahun), kemudian menjadikannya jadzah (unta dewasa). Selanjutnya kelipatan
empat ke atas.” Juga dalam hal hutang emas ataupun uang, berlaku riba. Sebagai
pelaku ekspor impor, jazirah Arab memiliki pusat kota tempat bertransaksi yaitu
kota Makkah. Kota Makkah merupakan kota suci yang setup tahunnya dikunjungi,
terutama karena disitulah terdapat bangunan suci Ka’bah. Selain itu di Ukaz
terdapat pasar sebagai tempat bertransaksi dari berbagai belahan dunia dan tempat
berlangsungnya perlombaan kebudayaan (puisi Arab).
Oleh karena itu kota tersebut menjadi pusat peradaban balk politik,
ekonomi, dan budaya yang penting. Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi
internasional, yaitu menghubungkan Makkah ke Abysinia seterusnya menuju ke
Afrika Tengah. Dari Makkah ke Damaskus seterusnya ke daratan eropa. Dari Makkah
ke al-Machin (Persia) ke Kabul, Kashmir, Singking (Sinjian) sampai ke Zaitun
dan Canton, selanjutnya menembus daerah Melayu. Selain itu jugs dari Makkah ke aden
melalul laut menuju ke India, Nusantara, hingga Canton (al-Haddad).
Hal ini menyebabkan masyarakat Makkah memiliki peran strategis
untuk berpartisipasi dalam dunia perekonomian tersebut. Mereka digolongkan
menjadi tiga, yaitu para konglomerat yang memiliki modal, kedua, para pedagang
yang mengolah modal dan’ para konglomerat, dan ketiga, para perampok dan rakyat
biasa yang bemberikan jaimian keamanan kepada para khafilah pedagang dari
peranatuan, mereka mendapatkan labs keuntungan sebesar sepuluh persen.
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para
konglomerat, pejabat, tentara, dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut
mahal, terutama barang-barang impor yang harus dikenai pajakyang sangat tinggi.
Alat pembayaran yang mereka gunakan adalah koin yang terbuat dari perak, emas
atau logam mula lain yang dittru dari mata uang Persia dan Romawi. Sampai
sekarang koin tersebut masih tersimpan disejumlah museum di Timer Tengah.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan
masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham.
Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk
mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di
kalangan para pedagang.
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian
Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman
Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh
dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan
orang-orang Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi.
Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang
terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk
keperluan modal dagang dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan
jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad Saw
secara bertahap dalam kurun waktu lebih
dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan
praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba
(free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di
tengah semaraknya sistem ekonomi riba saat ini.
C.
PRAKTEK TENTANG RIBA
Jauh sebelum islam datang riba sudah dikenal dan bahkan dikutuk
orang. Dalam pemahaman sederhana, riba adalah kegiatan ekonomi yang mengambil
bentuk pembungaan uang. Plato seorang filosuf Yunani (427-347 S.M.) termasuk
orang yang mengutuk pembungaan uang, yang dalam literatur barat disebut usury
atau interest.[2]
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Solon, peletak Undang-undang Athena, yang
juga dikenal sebagai salah seorang di antara tujuh orang bijak pada waktu itu.
Aristoteles juga orang yang antio terhadap pembungaan uang. Menurut
Aristoteles, fungsi uang yang utama adalah untuk mempelancar arus perdangangan.
Dengan demikian, uang mempermudah manusia memenuhi kebutuhannya. Uang tidak
dapat digunakan sebagai alat untuk menumpuk harta kekayaan.
Dari segi agama, sebenarnya bukan hanya Islam yang mengutuk praktek
riba. Agama Yahudi dan Nasrani juga mengutuknya. Sungguhpun demikian, praktek
riba tetap berjalan. Maka bila pada zaman Jahiliyyah praktek riba berjalan,
sebenarnya bukan hal baru. Bahkan dikalangan anggota masyarakat Jahiliyah pun
ada yang memandang riba sebagai tindakan tercela. Mengenai pandangan masyarakat
Jahiliyah ini dapat melihat penuturan Ibn Hisyam dalam Sirahnya.
Riba dikerjakan orang di beberapa kota Arab dimasa Jahiliyah karena
itu disebut riba Jahiliyah. Formula riba Jahiliyah peminjam bersedia
mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati berikut
tambahan. Pada saat jatuh tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah
pinjaman yang dulu diberikan kepada peminjam (debitor). Jika debitor mengatakan
belum sanggup membanyar, kreditor memberikan tenggang waktu, dengan syarat,
debitor bersedia membanyar sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi.
Al- Razi menuturkan pada zaman Jahiliyyah, jika debitor berhutang
seratus dirham kemudian tidak memiliki uang untuk membanyar utangnya pada saat
yang telah ditentukan, kreditor akan menentukan tambahan atas jumlah pinjaman.
Bila permintaan ini diterima, kreditor baru bersedia memberi tenggang waktu.
Seringkali terjadi, tambahan yang diminta bukan hanya seratus dirham, tetapi
sampai dua ratus dirham. Dan ketika tenggang waktu belum habis, ada lagi
tambahan diatas jumlah hutang seluruhnya (tambahan atas pinjaman pertama
berikut bunga; disini, bunga menjadi beban hutang yang berhak atas bunga). Hal
ini terjadi berulang-ulang. Akibatnya, pinjaman yang hanya seratus dirham itu
kelak akan diterima kembali oleh kreditor dalam jumlah yang berlipat ganda.[3]
Di Madinah, menurut Watt ada hubungan yang mapan antara orang
yahudi dengan riba. Pada tahun pertama di Madinah, Muhammad dalam satu aliansi
dengan orang Yahudi. Ada kewajiban timbal-balik di antara orang islam dengan
orang Yahudi dengan saling membantu sebagai penduduk Madinah. Sesudah periode
perang badar, di perkirakan orang Makkah akan menyerang Madinah. Ketika itu
orang yahudi di minta bantuannya untuk persiapan militer di Madinah, sebagai
konsekuensi mereka sebagai penduduk madinah, tetapi orang Yahudi menolak
permintaan ini, bahkan hanya bersedia memberi pinjaman uang riba. Uang sebanyak 80 dinar dipinjamkan oleh orang
Yahudi kepada orang Anshar dalam jangka waktu satu tahun dengan bunga lima
puluh persen. Dengan demikian, penilaian
Watt benar juga bahwa orang Yahudi mempunyai hubungan yang mapan dengan riba.
Riba yang dipraktekkan ini ternyata menjadikan kaum yang lemah akan
semakin lemah. Karena ketidakmampuan debitor mengembalikan pinjamannya pada
jangka waktu yang telah ditentukan maka jumlah hutang mereka semakin bertambah
karena riba itu sehingga akhirnya seluruh harta debitor habis oleh hutang yang
semula kecil.
Obyek riba tidak hanya berupa uang, tetapi juga dapat juga berupa
hewan ternak. Al-Tabari menuturkan riwayat dari Ibn Zaid menirukan ayahnya,
bahwa riba pada masa Jahiliyyah adalah dalam lipat ganda dan umur hewan ternak,
seperti onta. Bila telah tiba masa yang telah disepakati, kreditor menemui
debitor, lalu berkata, “Banyarlah hutangmu, atau kamu memberikan tambahan
kepadaku”. Bila debitor punya, ia membanyar hutang itu. Tetapi bila ia tidak
punya onta maka ia dianggap mempunyai utang onta lebih tua daripada yang dipinjamkannya
dulu. Kalau yang semula yang dipinjamkan adalah onta berumur satu tahun masuk
tahun kedua, karena debitor belum sanggub membayar, maka ontanya menjadi onta bintu
labun (onta berumur dua tahun masuk tahun ketiga). Kalau pada saatnya nanti
ia belum sanggup juga melunasi hutang itu, maka hutangnya menjadi onta yang
umurnya lebih tua lagi denga sebutan hiqqah (onta berumur tiga tahun
memasuki tahun keempat). Bila pada saatnya hutang itu juga belum dapat di
lunasi, maka onta itu manjasi jaza’ah (onta yang memasuki umur lima
tahun). Begitu seterusnya sehingga nilai hutang debitor bertambah terus selagi
ia belum dapat melunasi hutangnya.[4]
Dari riwayat-riwayat tentang praktek riba itu dapat dicatat
beberapa hal. Dalam banyak kasus riba berkaitan ketidaksanggupan peminjam
mengembalikan hutangnya pada waktu yang telah disepakati. Kemudian muncul
kesepakatan berikutnya yang berupa penundaan pembanyaran hutang, dengan catatan
peminjam memberi tambahan atas jumlah pinjaman ketika pelunasan. Kesepakatan
ini disebabkan oleh keadaan yang memaksa. Artinya, sekiranya peminjam sanggup
melunasi hutang pada waktu yang disepakati itu, ia akan melunasi hitang
daripada menunda dengan memberi tambahan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa
jumlah hutang yang semakin lama semakin membesar sampai denga harta peminjam
habis dan hutang tidak terbanyar. Dalam kasus semacam ini tampaknya, hutang
dilakukan orang untuk sekedar mempertahankan hidup, bukan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonominya.
Kasus ini menggambarkan bahwa riba diperjanjikan semenjak
kesepakatan peminjam pertama, seperti yang terjadi dalam riwayat tentang
peminjaman korma oelh penggarap tanah kepada ‘Usman. Fenomena peminjaman yang
bermuara riba pada masa nabi dan sebelumnya menunjukkan bahwa orang miskin
mengambil posisi sebagai peminjam, dan orang kaya sebagai pemberi pinjaman.
Tetapi, mesikpun tidak banyak kasusnya, ada juga transaksi riba dilakukan antar
orang kaya, seperti yang terjadi antara keluarga Saqif dan al-Mugirah.
D.
CORAK RIBA
Para penulis sejarah mengatakan, sebelum islam datang bentuk
kesatuan masyarakat Arab adalah kabilah (suku), kelompok keluarga yang mengaku
memiliki nenek moyang yang sama. Kabilah diikat oleh sekumpulan peraturan yang
tidak tertulis yang selalu berevolusi bersama berjalannya waktu.
Menurut Fazlur Rahman, pesan utama Al-Qur’an adalah:
1.
Meluruskan
aqidah dari Syirk kepada Tauhid.
2.
Memberi
konsep keadilan sosial atas dasar Tauhid.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat ulama tafsir. Dalam periode
Makkah, disamping Al-Qur’an meluruskan aqidah, misalnya surah Al-Ikhlas,
Al-Falaq, An-Nas, Al-Kafirun dan lain-lain juga mengecam perilaku sosial,
seperti mengecam orang bakhil (kikir), tidak jujur, mau menang sendiri. Riba
yang diperkirakan orang mendatangkan harta berlimpah juga tidak luput dari
kecaman Al-Qur’an, lalu diberi alternatif “zakat”.
Dari berbagai cara yang
ditempuh agar orang cepat kaya, kelihatannya praktek riba dipandang sebagai
sarana yang efektif untuk tujuan tersebut. Fenomena praktek riba di masa Rasul,
sebagai diperoleh dari banyak riwayat adalah, bahwa riba mengakibatkan
penderitaan yang semakin berat bagi para peminjam. Adegan riba selalu
menampilkan orang kaya sebagai pemberi pinjaman, dan orang melarat sebagai
peminjam. Bagi peminjam, untuk mengembalikan pinjaman saja terasa berat, karena
miskinnya, apalagi diberi beban harus
membayar “ribanya”, tentu akan terasa lebih berat. Bila hal ini
dikaitkan dengan teori kemiskinan, maka riba merupakan sarana efektif untuk
mengembangkan kemiskinan.
Di Madinah, riba di praktekkan oleh orang Yahudi, kendati mereka
sendiri tahu bahwa riba itu dilarang oleh agama mereka. Mereka sadar bahwa
praktek riba merupakan senjata besar untuk melumpuhkan ekonomi kelompok lain,
termasuk kelompok islam.
Pada sisi lain, ditemukan kasus, peminjam tidak perlu disantuni
karena tidak termasuk orang miskin. Dalam kasus ini peminjam dituntut
mengembalikan hutang secepatnya dan sebaik mungkin, seperti memberi tambahan
sebagai tanda terimakasih atas jasa pemberi pinjaman. Dalam sebuah riwayat
disebutkan, ketika Nabi hendak mengembalikan hutangnya yaitu onta, ia menyuruh
seseorang mengambil seekor onta yang lebih besar dari onta yang dipinjamnya
dulu.[5]
Seraya berkata, Khairukum ahsanukum qadaan (sebaik-baiknya kamu adalah
yang membaikkan pembanyaran hutang). Kasus ini memberi petunjuk bahwa orang
kaya yang mengembalikan hutangnya dengan tambahan termasuk orang terpuji, tidak
termasuk melakukan riba. Dengan demikian tidak setiap tambahan atas jumlah
pinjaman dari pihak yang berhutang disebut riba, tetapi, lebih tergantung pada
latar belakang dan akibat yang ditimbulkan oleh transaksi peminjaman itu
sendiri.
Di masa Nabi, tampaknya para
sahabat mengerti sosok riba hanya dengan pengertian sekilas, karena nabi belum
sempat menyebut pengertian riba secara definitif. Lalu para sahabat dan
generasi penerus berusaha menjelaskan sosok riba melalui berbagai cara, seperti
mendefinisikannya. Misalnya:
a.
Riba
nasi’ah adalah tambahan atas salah satu yang dihutang, seperti orang hutang
sekati korma di musim dingin dibanyar kembali satu setengah di musim panas.
b.
Riba
yang dikenal dan dikerjakan oleh orang arab dulu adalah hutang beberapa dirham
dan dinar, ketika pengembalian diberi tambahan sesuai perjanjian ketika hutang
dimulai.
E.
KRONOLOGI AYAT-AYAT RIBA
Dalam
Al-Qur’an, ayat yang pertama kali membicarakan tentang riba adalah surah
Ar-Rum: 39, yang berbunyi:
وما آتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فلا يربو
عند الله وما آتيتم من زكاة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون
Artinya: Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Disebut
pertama kali ia turun pada periode Makkah, sedangkan ayat-ayat lain yang
berbicara tentang riba turun pada periode Madinah. Pembicaraan tentang riba
pada ayat ini hanya mengambarkan bahwa riba yang disangka orang menghasilkan
penambahan harta, dalam pandangan Allah tidak benar. Yang benar yaitu zakatlah
yang mendatangkan lipat ganda. Di sini juga bahwa riba juga dilarang.
Terhadap riba
yang dibicarakan dalam surah Ar-Rum ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat
bahwa riba tersebut bukan riba yang diharamkan. Riba dalam ayat ini berupa
pemberian sesuatu kepada orang lain yanag tidak didasarkan keikhlasan, seperti
pemberian hadiah dengan harapan balasan hadiah yang lebih besar. Ulama’ lain
seperti al-Alusi dan Sayyid Qutb memilih pendapat bahwa riba dalam ayat itu
adalah tambahan yang dikenal dalam mu’amalah sebagi yang diharamkan oleh Syari’,
kalau Sayyid Rasyid Rida menyatakan bahwa haramnya riba itu semenjak turun
surah Ali Imran: 130, artinya ia membenarkan kelompok pertama.
Ayat-ayat
tentang riba setelahnya adalah surah An-Nisa: 160-161, surah Ali Imran: 130 dan
Al-Baqarah: 275-280. Masing-masing sebagai berikut:
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات أحلت لهم
وبصدهم عن سبيل الله كثيرا
وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل
وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما
Artinya: Maka
disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(QS.
An-Nisa: 160-161)
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة
واتقوا الله لعلكم تفلحون
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Ali-Imran: 130)
الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي
يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم
الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب
النار هم فيها خالدون
Artinya: Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)
يمحق الله الربا ويربي الصدقات والله لا يحب كل كفار
أثيم
Artinya: Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. Al-Baqarah: 276)
BAB III
PENUTUP
Pengertian dari riba menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Ketika beliau ditanya tentang riba, maka
beliau menjawab, Sesungguhnya riba itu ialah seseorang memiliki utang maka
dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jika ia tidak
mampu melunasi, maka ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas
penambahan waktu yang diberikan.[6] Di
dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah
dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil
rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan riba.
Fenomena
praktek riba membawa gambaran bahwa pada umumnya riba menghadapkan orang kaya
dengan orang misakin, kendati terdapat juga antar orang kaya, namun, kasusnya
sedikit. Dari fenomena itu diketahui bahwa riba merupakan senjata efektif untuk
mengembangkan kemisinan dan penindasan orang kaya terhadap orang lemah. Riba
merupakan perjanjian berat sebelah, secara psikologi telah memaksa satu pihak
menerima perjanjian yang sebenarnya tidak didasari kerelaan. jika debitor
berhutang seratus dirham kemudian tidak memiliki uang untuk membanyar utangnya
pada saat yang telah ditentukan, kreditor akan menentukan tambahan atas jumlah
pinjaman. Bila permintaan ini diterima, kreditor baru bersedia memberi tenggang
waktu. Seringkali terjadi, tambahan yang diminta bukan hanya seratus dirham,
tetapi sampai dua ratus dirham. Dan ketika tenggang waktu belum habis, ada lagi
tambahan diatas jumlah hutang seluruhnya (tambahan atas pinjaman pertama
berikut bunga; disini, bunga menjadi beban hutang yang berhak atas bunga). Hal
ini terjadi berulang-ulang. Akibatnya, pinjaman yang hanya seratus dirham itu
kelak akan diterima kembali oleh kreditor dalam jumlah yang berlipat ganda.
Riba termasuk
“sub sistem” ekonemi yang berprinsip menguntung kan kelompok orang tertentu
tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Al-Qur’an datang dengan
seperangkat prinsip membawa kesejahteraan bagi umat manusia di dunia dan juga
akhirat. Keseimbangan antara kesejahteraan individu dan masyarakat menjadi
perhatian utama Al-Qrur’an. Dengan ajaran tauhidnya, Al-Qur’an mengingatkan
bahwa apa yang dikerjakan manusia akan terlihat di akhirat kelak. Dengan
demikian orang islam tidak bisa tidak, harus merasa bahwa gerak geriknya dalam
awasan Tuhan. Inilah ajaran moral Al-Qur’an yang menuntut manusia agar tidak
berbuat semau-maunya terhadap sesamanya.
Berbagai cara yang ditempuh agar orang cepat kaya, kelihatannya
praktek riba dipandang sebagai sarana yang efektif untuk tujuan tersebut.
Fenomena praktek riba di masa Rasul, sebagai diperoleh dari banyak riwayat
adalah, bahwa riba mengakibatkan penderitaan yang semakin berat bagi para
peminjam. Adegan riba selalu menampilkan orang kaya sebagai pemberi pinjaman,
dan orang melarat sebagai peminjam. Bagi peminjam, untuk mengembalikan pinjaman
saja terasa berat, karena miskinnya, apalagi diberi beban harus membayar “ribanya”, tentu akan terasa lebih
berat. Bila hal ini dikaitkan dengan teori kemiskinan, maka riba merupakan
sarana efektif untuk mengembangkan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri Muh, Riba dalam Al-Qur’an dan masalah perbankan.
Jakarta: PT Raja Grafindoo Persada.
1996.
Nasution Khoirudin, Riba dan Poligami, sebuah studi atas
pemikiran muhammad abduh. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA. 1996.
Internet:
Pengertian-dan-macam-macam-riba.html. http://www.pengertianpakar.com/2014/12/.
[1]
Zuhri Muh, Riba dalam Al-Qur’an dan masalah perbankan. Jakarta: PT Raja
Grafindoo Persada. 1996. Hlm. 37 dan 38.
[2]
Robert Maynard Hutchins, The Dialogues of plato, terj. Benjamin Jawett
dalam “ Greet Books of The Western World,” Encyclopedian Brittanica, cet.
Ke-31, 1989, hlm. 696.
[3]
Al-Razi dalam tafsirnya, Tafsir Al-Kabir, selanjutnya disebut al-kabir,
(Tuhran: Dir al-Kutub al-‘ilmiyyah, cet. II, tt.).
[4]
Al-Tabari, jami’ al-bayan fi Tafsir al-Qur’an. Selanjutnya di sebut
al-Bayan. (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, 1954), J. IV, hlm. 59.
[5]
Lihat Al-Bukhari, ibid., Juz. II., hlm. 56. Di sana dinyatakan bahwa orang
mampu yang menunda-nunda pembanyaran hutangnya termasuk kezaliman.
[6]
www.pengertianpakar.com, pengertian Riba.
0 komentar:
Posting Komentar