Minggu, 07 Juni 2015

Sejarah Hukum Islam, Riba dalam Ekonomi di Masa Rasul


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada dasarnya kegiatan ekonomi merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi maupun keluarga. Dengan kegiatan itu mereka memperoleh rizki, dan dengan rizki itu mereka dapat melangsungkan kehidupannya secara layak, makan, minum, tidur dan menjalani kehidupan berumah tangga.
Bagi orang islam Al-Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang berkebenaran absolut. Sunnah Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai menjelaskan kandungan Al-Qur’an. Terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang memotivasi manusia untuk bekerja yang kegiatan ekonomi termasuk didalamnya dan mencela orang yang menjadi pemalas. Tapi tidak semua kegiatan ekonomi di benarkan dalam Al-Qur’an. Jika kegiatan itu mempunyai watak yang dapat merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil seseorang, seperti monopoli dagang, perjudian dan juga riba, maka itu semua pasti akan ditolak. Termasuk praktek riba yang sangat membahanyakan bagi manusia, menguntungkan disatu pihak saja tapi kemudian merugikan banyak orang.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa itu riba?
2.      Bagaimana praktek riba pada masa rasul?
3.      Bagaimana corak riba itu sendiri?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    RIBA
Akar kata riba adalah rangkaian huruf ra’ dan ba’, dan huruf ‘illat. Menurut bahasa riba’ berarti ziyadah (tambahan) dan nama (tumbuh). Pertambahan juga bisa disebabkan oleh faktor interen dan juga bisa faktor eksteren. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang seakar dengan kata riba. Meskipun masing-masing kata mempunyai pengertian teknis yang berbeda, tetapi terdapat unsur kesamaan, yaitu “tambah/lebih”.[1]
Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.
Ayat al-qur’an yang melarang orang Mukmin agar tidak memakan riba dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Firman Allah yang akan memberikan siksa atau Azab bagi orang-orang yang memakan riba yaitu :
وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما
Artinya: “Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161)
B.     JAZIRAH ARAB
Islam, agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, yang diturunkan di jazirah arab, tepatnya di Makkah-Madinah dan sekitarnya, ditandai dengan turunnya Al-qur’an. Sering kali ayat Al-Qur’an turun dengan membawa gambaran kondisi sosial Arab atau kasus tertentu tentang peri kehidupan mereka. Karenanya, mengenal lebih jauh tentang kondisi Arab di masa sebelum dan ketika turun Al-Qur’an akan membantu orang memahami pesan yang terkandung di dalamnya secara utuh. Jazirah Arab terletak di Asia sebelah Barat Daya dan dibatasi oleh daratan Syam (syria) di sebelah utara, daratandan teluk persia serta teluk Oman di sebelah timur, laut India dan teluk Aden di sebelah selatan, dan laut Merah di sebelah Barat daratan Arab yang tergolong sangat luas ini terdiri atas padang pasir luas dan  stepa, dan sedikit tanah subur. Jazirah Arab termasuk area yang tanahnya tandus dan kering serta berhawa panas. Biarpun daratan ini dikelilingi laut-laut ia tetap miskin hujan. Yaman adalah daerah yang paling banyak memiliki tanah subur. Katanya, hanya daera yaman dan ‘Asir (pantai barat Arab bagian selatan) yang memperoleh hujan teratur. Hasil pertanian dari daerah-daerah subur yang menonjol adalah gandum dan korma. Secara keseluruhan, hasil alam dari Arab yang besar adalah emas murni dan kemenyan.
Dikaitkan dengan agama, penduduk Arab dapat dikelompokkan menjadi tiga, Nasrani, Yahudi dan penganut Paganisme. Kedua agama tersebut terdahulu merupakan agama inpor sedangkan yang disebukkan agama terakhir merupakan agama peribumi. Beberapa abad sebelum islam, agama nasrani dan yahudi sudah tersebar diarab, bahkan telah tersebar sampai di Arab bagian selatan. Daerah koloni yang terpenting bagi orang-orang Yahudi adalah yastrib, kelak menjadi Madinah, dan bagi orang Nasrani adalah Najran.
            Sebelum Islam datang, Yastrib dihuni oleh orang Yahudi dan orang Arab selatan yang dikenal dengan suku Aus dan Khazraj, ketika orang Aus dan Khazraj datang, Yastrib dikuasai oelah orang Yahudi, yang dikenal pandai berdagang dan bercocok tanam. Semula hubungan antara kedua pihak ini baik. Tetapi beberapa waktu sebelum Nabi berhijrah kesana, hubungan mereka memburuk, dan Yastrib menjadi ajang perebutan pengaruh premordial (pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya). Kesepakatan penduduk yastrib menghadirkan Nabi di sana dilatarbelakangi oleh persoalan ini.
Penduduk makkah pada umumnya menganut paganisme. Hanya sebagian kecil dari mereka beragama samawi. Kalau perdagangan di Madinah dikuasai oleh orang Yahudi, maka di Makkah perdangangan dikuasai oleh orang Quraisy. Pada masa Arab pra-Islam atau yang sering disebut masa jahiliyah sudah biasa melakukan transaksi berbau riba. Ath-Thabari menyatakan: “Pada masa jahiliyah, praktik riba terletak pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu tahun. Misalnya, seorang berhutang. Ketika sudah jatuh tempo, datanglah pemberi hutang untuk menagihnya seraya berkata, ‘Engkau akan membayar hutangmu ataukah akan memberikan tambahan (bunga) nya saja kepadaku?Jika ia memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan maka ia pun membayarnya. Jika tidak, maka ia akan menyempurnakannya hingga satu tahun ke depan. Jika hutangnya berupa ibnatu makhadh (anak unta yang berumur satu tahun), maka pembaysarannya menjadi ibnatu labun (anak unta yang berumur dua tahun) pads tahun kedua.
Kemudian la akan menjadikannya hiqqah (anak unta yang berumur tiga tahun), kemudian menjadikannya jadzah (unta dewasa). Selanjutnya kelipatan empat ke atas.” Juga dalam hal hutang emas ataupun uang, berlaku riba. Sebagai pelaku ekspor impor, jazirah Arab memiliki pusat kota tempat bertransaksi yaitu kota Makkah. Kota Makkah merupakan kota suci yang setup tahunnya dikunjungi, terutama karena disitulah terdapat bangunan suci Ka’bah. Selain itu di Ukaz terdapat pasar sebagai tempat bertransaksi dari berbagai belahan dunia dan tempat berlangsungnya perlombaan kebudayaan (puisi Arab).
Oleh karena itu kota tersebut menjadi pusat peradaban balk politik, ekonomi, dan budaya yang penting. Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasional, yaitu menghubungkan Makkah ke Abysinia seterusnya menuju ke Afrika Tengah. Dari Makkah ke Damaskus seterusnya ke daratan eropa. Dari Makkah ke al-Machin (Persia) ke Kabul, Kashmir, Singking (Sinjian) sampai ke Zaitun dan Canton, selanjutnya menembus daerah Melayu. Selain itu jugs dari Makkah ke aden melalul laut menuju ke India, Nusantara, hingga Canton (al-Haddad).
Hal ini menyebabkan masyarakat Makkah memiliki peran strategis untuk berpartisipasi dalam dunia perekonomian tersebut. Mereka digolongkan menjadi tiga, yaitu para konglomerat yang memiliki modal, kedua, para pedagang yang mengolah modal dan’ para konglomerat, dan ketiga, para perampok dan rakyat biasa yang bemberikan jaimian keamanan kepada para khafilah pedagang dari peranatuan, mereka mendapatkan labs keuntungan sebesar sepuluh persen.
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para konglomerat, pejabat, tentara, dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut mahal, terutama barang-barang impor yang harus dikenai pajakyang sangat tinggi. Alat pembayaran yang mereka gunakan adalah koin yang terbuat dari perak, emas atau logam mula lain yang dittru dari mata uang Persia dan Romawi. Sampai sekarang koin tersebut masih tersimpan disejumlah museum di Timer Tengah.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad Saw secara bertahap dalam kurun waktu  lebih dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut  harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di tengah semaraknya sistem ekonomi riba saat ini.
C.    PRAKTEK TENTANG RIBA
Jauh sebelum islam datang riba sudah dikenal dan bahkan dikutuk orang. Dalam pemahaman sederhana, riba adalah kegiatan ekonomi yang mengambil bentuk pembungaan uang. Plato seorang filosuf Yunani (427-347 S.M.) termasuk orang yang mengutuk pembungaan uang, yang dalam literatur barat disebut usury atau interest.[2] Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Solon, peletak Undang-undang Athena, yang juga dikenal sebagai salah seorang di antara tujuh orang bijak pada waktu itu. Aristoteles juga orang yang antio terhadap pembungaan uang. Menurut Aristoteles, fungsi uang yang utama adalah untuk mempelancar arus perdangangan. Dengan demikian, uang mempermudah manusia memenuhi kebutuhannya. Uang tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menumpuk harta kekayaan.
Dari segi agama, sebenarnya bukan hanya Islam yang mengutuk praktek riba. Agama Yahudi dan Nasrani juga mengutuknya. Sungguhpun demikian, praktek riba tetap berjalan. Maka bila pada zaman Jahiliyyah praktek riba berjalan, sebenarnya bukan hal baru. Bahkan dikalangan anggota masyarakat Jahiliyah pun ada yang memandang riba sebagai tindakan tercela. Mengenai pandangan masyarakat Jahiliyah ini dapat melihat penuturan Ibn Hisyam dalam Sirahnya.
Riba dikerjakan orang di beberapa kota Arab dimasa Jahiliyah karena itu disebut riba Jahiliyah. Formula riba Jahiliyah peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati berikut tambahan. Pada saat jatuh tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah pinjaman yang dulu diberikan kepada peminjam (debitor). Jika debitor mengatakan belum sanggup membanyar, kreditor memberikan tenggang waktu, dengan syarat, debitor bersedia membanyar sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi.
Al- Razi menuturkan pada zaman Jahiliyyah, jika debitor berhutang seratus dirham kemudian tidak memiliki uang untuk membanyar utangnya pada saat yang telah ditentukan, kreditor akan menentukan tambahan atas jumlah pinjaman. Bila permintaan ini diterima, kreditor baru bersedia memberi tenggang waktu. Seringkali terjadi, tambahan yang diminta bukan hanya seratus dirham, tetapi sampai dua ratus dirham. Dan ketika tenggang waktu belum habis, ada lagi tambahan diatas jumlah hutang seluruhnya (tambahan atas pinjaman pertama berikut bunga; disini, bunga menjadi beban hutang yang berhak atas bunga). Hal ini terjadi berulang-ulang. Akibatnya, pinjaman yang hanya seratus dirham itu kelak akan diterima kembali oleh kreditor dalam jumlah yang berlipat ganda.[3]
Di Madinah, menurut Watt ada hubungan yang mapan antara orang yahudi dengan riba. Pada tahun pertama di Madinah, Muhammad dalam satu aliansi dengan orang Yahudi. Ada kewajiban timbal-balik di antara orang islam dengan orang Yahudi dengan saling membantu sebagai penduduk Madinah. Sesudah periode perang badar, di perkirakan orang Makkah akan menyerang Madinah. Ketika itu orang yahudi di minta bantuannya untuk persiapan militer di Madinah, sebagai konsekuensi mereka sebagai penduduk madinah, tetapi orang Yahudi menolak permintaan ini, bahkan hanya bersedia memberi pinjaman uang riba. Uang  sebanyak 80 dinar dipinjamkan oleh orang Yahudi kepada orang Anshar dalam jangka waktu satu tahun dengan bunga lima puluh persen.  Dengan demikian, penilaian Watt benar juga bahwa orang Yahudi mempunyai hubungan yang mapan dengan riba.
Riba yang dipraktekkan ini ternyata menjadikan kaum yang lemah akan semakin lemah. Karena ketidakmampuan debitor mengembalikan pinjamannya pada jangka waktu yang telah ditentukan maka jumlah hutang mereka semakin bertambah karena riba itu sehingga akhirnya seluruh harta debitor habis oleh hutang yang semula kecil.
Obyek riba tidak hanya berupa uang, tetapi juga dapat juga berupa hewan ternak. Al-Tabari menuturkan riwayat dari Ibn Zaid menirukan ayahnya, bahwa riba pada masa Jahiliyyah adalah dalam lipat ganda dan umur hewan ternak, seperti onta. Bila telah tiba masa yang telah disepakati, kreditor menemui debitor, lalu berkata, “Banyarlah hutangmu, atau kamu memberikan tambahan kepadaku”. Bila debitor punya, ia membanyar hutang itu. Tetapi bila ia tidak punya onta maka ia dianggap mempunyai utang onta lebih tua daripada yang dipinjamkannya dulu. Kalau yang semula yang dipinjamkan adalah onta berumur satu tahun masuk tahun kedua, karena debitor belum sanggub membayar, maka ontanya menjadi onta bintu labun (onta berumur dua tahun masuk tahun ketiga). Kalau pada saatnya nanti ia belum sanggup juga melunasi hutang itu, maka hutangnya menjadi onta yang umurnya lebih tua lagi denga sebutan hiqqah (onta berumur tiga tahun memasuki tahun keempat). Bila pada saatnya hutang itu juga belum dapat di lunasi, maka onta itu manjasi jaza’ah (onta yang memasuki umur lima tahun). Begitu seterusnya sehingga nilai hutang debitor bertambah terus selagi ia belum dapat melunasi hutangnya.[4]
Dari riwayat-riwayat tentang praktek riba itu dapat dicatat beberapa hal. Dalam banyak kasus riba berkaitan ketidaksanggupan peminjam mengembalikan hutangnya pada waktu yang telah disepakati. Kemudian muncul kesepakatan berikutnya yang berupa penundaan pembanyaran hutang, dengan catatan peminjam memberi tambahan atas jumlah pinjaman ketika pelunasan. Kesepakatan ini disebabkan oleh keadaan yang memaksa. Artinya, sekiranya peminjam sanggup melunasi hutang pada waktu yang disepakati itu, ia akan melunasi hitang daripada menunda dengan memberi tambahan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa jumlah hutang yang semakin lama semakin membesar sampai denga harta peminjam habis dan hutang tidak terbanyar. Dalam kasus semacam ini tampaknya, hutang dilakukan orang untuk sekedar mempertahankan hidup, bukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Kasus ini menggambarkan bahwa riba diperjanjikan semenjak kesepakatan peminjam pertama, seperti yang terjadi dalam riwayat tentang peminjaman korma oelh penggarap tanah kepada ‘Usman. Fenomena peminjaman yang bermuara riba pada masa nabi dan sebelumnya menunjukkan bahwa orang miskin mengambil posisi sebagai peminjam, dan orang kaya sebagai pemberi pinjaman. Tetapi, mesikpun tidak banyak kasusnya, ada juga transaksi riba dilakukan antar orang kaya, seperti yang terjadi antara keluarga Saqif dan al-Mugirah.
D.    CORAK RIBA
Para penulis sejarah mengatakan, sebelum islam datang bentuk kesatuan masyarakat Arab adalah kabilah (suku), kelompok keluarga yang mengaku memiliki nenek moyang yang sama. Kabilah diikat oleh sekumpulan peraturan yang tidak tertulis yang selalu berevolusi bersama berjalannya waktu.
Menurut Fazlur Rahman, pesan utama Al-Qur’an adalah:
1.      Meluruskan aqidah dari Syirk kepada Tauhid.
2.      Memberi konsep keadilan sosial atas dasar Tauhid.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat ulama tafsir. Dalam periode Makkah, disamping Al-Qur’an meluruskan aqidah, misalnya surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, Al-Kafirun dan lain-lain juga mengecam perilaku sosial, seperti mengecam orang bakhil (kikir), tidak jujur, mau menang sendiri. Riba yang diperkirakan orang mendatangkan harta berlimpah juga tidak luput dari kecaman Al-Qur’an, lalu diberi alternatif “zakat”.
 Dari berbagai cara yang ditempuh agar orang cepat kaya, kelihatannya praktek riba dipandang sebagai sarana yang efektif untuk tujuan tersebut. Fenomena praktek riba di masa Rasul, sebagai diperoleh dari banyak riwayat adalah, bahwa riba mengakibatkan penderitaan yang semakin berat bagi para peminjam. Adegan riba selalu menampilkan orang kaya sebagai pemberi pinjaman, dan orang melarat sebagai peminjam. Bagi peminjam, untuk mengembalikan pinjaman saja terasa berat, karena miskinnya, apalagi diberi beban harus  membayar “ribanya”, tentu akan terasa lebih berat. Bila hal ini dikaitkan dengan teori kemiskinan, maka riba merupakan sarana efektif untuk mengembangkan kemiskinan.
Di Madinah, riba di praktekkan oleh orang Yahudi, kendati mereka sendiri tahu bahwa riba itu dilarang oleh agama mereka. Mereka sadar bahwa praktek riba merupakan senjata besar untuk melumpuhkan ekonomi kelompok lain, termasuk kelompok islam.
Pada sisi lain, ditemukan kasus, peminjam tidak perlu disantuni karena tidak termasuk orang miskin. Dalam kasus ini peminjam dituntut mengembalikan hutang secepatnya dan sebaik mungkin, seperti memberi tambahan sebagai tanda terimakasih atas jasa pemberi pinjaman. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Nabi hendak mengembalikan hutangnya yaitu onta, ia menyuruh seseorang mengambil seekor onta yang lebih besar dari onta yang dipinjamnya dulu.[5] Seraya berkata, Khairukum ahsanukum qadaan (sebaik-baiknya kamu adalah yang membaikkan pembanyaran hutang). Kasus ini memberi petunjuk bahwa orang kaya yang mengembalikan hutangnya dengan tambahan termasuk orang terpuji, tidak termasuk melakukan riba. Dengan demikian tidak setiap tambahan atas jumlah pinjaman dari pihak yang berhutang disebut riba, tetapi, lebih tergantung pada latar belakang dan akibat yang ditimbulkan oleh transaksi peminjaman itu sendiri.
 Di masa Nabi, tampaknya para sahabat mengerti sosok riba hanya dengan pengertian sekilas, karena nabi belum sempat menyebut pengertian riba secara definitif. Lalu para sahabat dan generasi penerus berusaha menjelaskan sosok riba melalui berbagai cara, seperti mendefinisikannya. Misalnya:
a.       Riba nasi’ah adalah tambahan atas salah satu yang dihutang, seperti orang hutang sekati korma di musim dingin dibanyar kembali satu setengah di musim panas.
b.      Riba yang dikenal dan dikerjakan oleh orang arab dulu adalah hutang beberapa dirham dan dinar, ketika pengembalian diberi tambahan sesuai perjanjian ketika hutang dimulai.

E.     KRONOLOGI AYAT-AYAT RIBA
                 Dalam Al-Qur’an, ayat yang pertama kali membicarakan tentang riba adalah surah Ar-Rum: 39, yang berbunyi:
وما آتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فلا يربو عند الله وما آتيتم من زكاة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
                 Disebut pertama kali ia turun pada periode Makkah, sedangkan ayat-ayat lain yang berbicara tentang riba turun pada periode Madinah. Pembicaraan tentang riba pada ayat ini hanya mengambarkan bahwa riba yang disangka orang menghasilkan penambahan harta, dalam pandangan Allah tidak benar. Yang benar yaitu zakatlah yang mendatangkan lipat ganda. Di sini juga bahwa riba juga dilarang.
                 Terhadap riba yang dibicarakan dalam surah Ar-Rum ini, sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba tersebut bukan riba yang diharamkan. Riba dalam ayat ini berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yanag tidak didasarkan keikhlasan, seperti pemberian hadiah dengan harapan balasan hadiah yang lebih besar. Ulama’ lain seperti al-Alusi dan Sayyid Qutb memilih pendapat bahwa riba dalam ayat itu adalah tambahan yang dikenal dalam mu’amalah sebagi yang diharamkan oleh Syari’, kalau Sayyid Rasyid Rida menyatakan bahwa haramnya riba itu semenjak turun surah Ali Imran: 130, artinya ia membenarkan kelompok pertama.
                 Ayat-ayat tentang riba setelahnya adalah surah An-Nisa: 160-161, surah Ali Imran: 130 dan Al-Baqarah: 275-280. Masing-masing sebagai berikut:
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات أحلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا
وأخذهم الربا وقد نهوا عنه وأكلهم أموال الناس بالباطل وأعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما
                 Artinya: Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(QS. An-Nisa: 160-161)
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة واتقوا الله لعلكم تفلحون
                 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Ali-Imran: 130)
الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
                 Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)
يمحق الله الربا ويربي الصدقات والله لا يحب كل كفار أثيم
                 Artinya: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS. Al-Baqarah: 276)



BAB III
PENUTUP
Pengertian dari riba menurut Imam Ahmad bin Hanbal,  Ketika beliau ditanya tentang riba, maka beliau menjawab, Sesungguhnya riba itu ialah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jika ia tidak mampu melunasi, maka ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.[6] Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba.
                 Fenomena praktek riba membawa gambaran bahwa pada umumnya riba menghadapkan orang kaya dengan orang misakin, kendati terdapat juga antar orang kaya, namun, kasusnya sedikit. Dari fenomena itu diketahui bahwa riba merupakan senjata efektif untuk mengembangkan kemisinan dan penindasan orang kaya terhadap orang lemah. Riba merupakan perjanjian berat sebelah, secara psikologi telah memaksa satu pihak menerima perjanjian yang sebenarnya tidak didasari kerelaan. jika debitor berhutang seratus dirham kemudian tidak memiliki uang untuk membanyar utangnya pada saat yang telah ditentukan, kreditor akan menentukan tambahan atas jumlah pinjaman. Bila permintaan ini diterima, kreditor baru bersedia memberi tenggang waktu. Seringkali terjadi, tambahan yang diminta bukan hanya seratus dirham, tetapi sampai dua ratus dirham. Dan ketika tenggang waktu belum habis, ada lagi tambahan diatas jumlah hutang seluruhnya (tambahan atas pinjaman pertama berikut bunga; disini, bunga menjadi beban hutang yang berhak atas bunga). Hal ini terjadi berulang-ulang. Akibatnya, pinjaman yang hanya seratus dirham itu kelak akan diterima kembali oleh kreditor dalam jumlah yang berlipat ganda.
                 Riba termasuk “sub sistem” ekonemi yang berprinsip menguntung kan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Al-Qur’an datang dengan seperangkat prinsip membawa kesejahteraan bagi umat manusia di dunia dan juga akhirat. Keseimbangan antara kesejahteraan individu dan masyarakat menjadi perhatian utama Al-Qrur’an. Dengan ajaran tauhidnya, Al-Qur’an mengingatkan bahwa apa yang dikerjakan manusia akan terlihat di akhirat kelak. Dengan demikian orang islam tidak bisa tidak, harus merasa bahwa gerak geriknya dalam awasan Tuhan. Inilah ajaran moral Al-Qur’an yang menuntut manusia agar tidak berbuat semau-maunya terhadap sesamanya.
Berbagai cara yang ditempuh agar orang cepat kaya, kelihatannya praktek riba dipandang sebagai sarana yang efektif untuk tujuan tersebut. Fenomena praktek riba di masa Rasul, sebagai diperoleh dari banyak riwayat adalah, bahwa riba mengakibatkan penderitaan yang semakin berat bagi para peminjam. Adegan riba selalu menampilkan orang kaya sebagai pemberi pinjaman, dan orang melarat sebagai peminjam. Bagi peminjam, untuk mengembalikan pinjaman saja terasa berat, karena miskinnya, apalagi diberi beban harus  membayar “ribanya”, tentu akan terasa lebih berat. Bila hal ini dikaitkan dengan teori kemiskinan, maka riba merupakan sarana efektif untuk mengembangkan kemiskinan.



DAFTAR PUSTAKA
Zuhri Muh, Riba dalam Al-Qur’an dan masalah perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindoo    Persada. 1996.
Nasution Khoirudin, Riba dan Poligami, sebuah studi atas pemikiran muhammad abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA. 1996.
Internet:
Pengertian-dan-macam-macam-riba.html. http://www.pengertianpakar.com/2014/12/.


[1] Zuhri Muh, Riba dalam Al-Qur’an dan masalah perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindoo Persada. 1996. Hlm. 37 dan 38.
[2] Robert Maynard Hutchins, The Dialogues of plato, terj. Benjamin Jawett dalam “ Greet Books of The Western World,” Encyclopedian Brittanica, cet. Ke-31, 1989, hlm. 696.
[3] Al-Razi dalam tafsirnya, Tafsir Al-Kabir, selanjutnya disebut al-kabir, (Tuhran: Dir al-Kutub al-‘ilmiyyah, cet. II, tt.).
[4] Al-Tabari, jami’ al-bayan fi Tafsir al-Qur’an. Selanjutnya di sebut al-Bayan. (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, 1954), J. IV, hlm. 59.
[5] Lihat Al-Bukhari, ibid., Juz. II., hlm. 56. Di sana dinyatakan bahwa orang mampu yang menunda-nunda pembanyaran hutangnya termasuk kezaliman.
[6] www.pengertianpakar.com, pengertian Riba.

0 komentar:

© Riza Ashman 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis